Di tengah euphoria kemenangan Dr Mohammed Mursi dalam pilpres Mesir
yang terasa hingga ke Indonesia, muncul sebuah berita menarik. Partai
Islam Kritis, kata Koran Tempo dalam judulnya, Rabu, 27 Juni’12. Judul
itu dimuat terkait dengan penelitian Lembaga Survey Nasional (LSN)
tentang partai Islam di Tanah Air. Menurut hasil survey LSN,
partai-partai Islam semakin ditinggalkan konstituennya. Awal Pemilu
1999, konstituen partai-partai Islam sebanyak 36,52 persen. Tahun 2004
meningkat 38,39 persen. Namun, pada Pemilu 2009 menjadi 29,14 persen,
hingga survei Juni 2012 menurun menjadi 15,7 persen.
“Dari hasil survei, jika pemilihan umum dilaksanakan hari ini,
jawabannya untuk partai Islam, elektabilitasnya rata-rata di bawah 5
persen,” kata Direktur Eksekutif LSN Umar S Bakry dalam jumpa pers di
Jakarta, Selasa (26/6/2012).
Berita ini seakan terkonfirmasi secara jelas dalam Pilgub DKI
Jakarta, 11 Juli lalu. Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini, cagub dan
cawagub yang dicalonkan PKS—partai Islam terbesar di Indonesia dan
pemenang pemilu legislative nomor dua di Jakarta—hanya menempati posisi
ketiga berdasarkan quick count berbagai lembaga survey dengan perolehan
suara sekitar 11%, jauh dibawah Jokowi-Ahok yang diusung PDIP-Gerindra
(43%).
Gelembung optimisme awalnya membesar kala PKS mengusung HNW dalam
Pilgub DKI Jakarta. Selain ketokohan dan integritasnya, momentum Pilgub
tak jauh jarak waktunya dengan kemenangan Mursi dalam Pilpres Mesir.
Arab Spring, yang tengah terjadi di Timur Tengah, diyakini akan
mempunyai pengaruh di Tanah Air, terlebih partai-partai politik yang
berjaya di Mesir, Tunisia, dll, mempunyai akar ideology yang mirip
dengan PKS.
Tapi ternyata itu tak terjadi. Raihan suara Hidayat Nur Wahid (HNW)
yang notabene tokoh nasional dan relatif telah dikenal publik Jakarta,
mencengangkan banyak pihak, utamanya kader PKS sendiri. Mereka seolah
tak percaya, ikon PKS tersebut kalah secara telak, di tempat yang
diyakini menjadi salah satu basis penting PKS.
Kekalahan HNW memunculkan banyak komentar sinis dari berbagai
kalangan, termasuk para pengamat politik. Mereka yang selama ini tak
suka dengan PKS atau partai Islam lainnya, beramai-ramai kompak
menyimpulkan, bahwa partai Islam sudah tak laku. Benarkah demikian?
Inikah tanda-tanda akhir zaman partai Islam, khususnya PKS?
***
Sangat tergesa-gesa. Itulah pendapat saya terkait “ramalan” para
pengamat terhadap masa depan partai Islam, khususnya PKS. Menyimpulkan
sesuatu dari hanya sebuah kasus atau fenomena, tentu saja memiliki
potensi besar untuk menghadirkan kesalahan fatal. Mengatakan bahwa PKS
memiliki masa depan suram hanya karena kalah dalam Pilgub DKI, tentu
saja sangat tidak pada tempatnya.
Setidaknya ada dua hal yang membantah logika pendek para pengamat
tersebut. Pertama, Pilgub Jakarta bukanlah barometer pemilu di
Indonesia, seperti yang digembar-gemborkan banyak pihak. Dari sisi
demografi, mungkin benar mengatakan Jakarta adalah miniatur Indonesia
karena terdiri dari beragam etnis dan agama. Tapi dari sisi lain: akses
informasi, tingkat pendidikan, pendapatan, rasionalitas, Jakarta tentu
saja berbeda dengan Indonesia.
Perlu diketahui, sekitar 80% penduduk Indonesia hidup di pedesaan.
Mereka menjadi pemilih dalam setiap pemilu. Dan mereka ini adalah
orang-orang yang relatif kedap informasi. Berita yang menjadi konsumsi
publik di Jakarta, belum tentu diketahui mereka. Karena itu, dalam
beberapa Pilkada Jakarta, hasilnya tidak linear dengan pemilu. Tahun
2004, PKS menjadi pemenang pemilu legislatif di Jakarta, tapi tak serta
merta menjadi juara di tingkat nasional. Hal serupa juga terulang dalam
pemilu 2009, dimana PKS meraih posisi nomor 2 di Jakarta, tapi secara
nasional menempati peringkat 4. Bahkan, jika memang Pilgub DKI Jakarta
menjadi barometer, harusnya PKS menjadi pemenang pemilu legislative 2009
karena pada tahun 2007, PKS meraih sekitar 47% suara dalam Pilgub. Tapi
nyatanya itu tak terjadi.
Begitu juga yang terjadi dengan Partai Golkar, PDI-P, PKB, dan
lainnya. Suara mereka kerap kali jeblok dalam pemilu legislatif atau
Pilgub di Jakarta. Namun, secara nasional, mereka selalu menjadi partai 3
besar. Fenomena ini dengan sangat jelas mematahkan pendapat helatan
pilgub DKI Jakarta menjadi ukuran pemilu secara nasional.
Kedua, di tengah gencarnya berita kekalahan PKS di Jakarta, ternyata
di tiga daerah: Tasikmalaya, Payakumbuh dan Kendari, PKS berhasil meraih
kemenangan dalam pilkada.
Kemenangan PKS di tiga tempat tersebut selain mengkonfirmasi dua hal
sekaligus. Pertama, sebagai bukti tak terbantahkan bahwa Pilgub DKI
Jakarta bukan sebagai alat ukur sahih perfroma sebuah partai secara
nasional. Kedua, sebagai bukti shahih bahwa “ramalan” tergesa-gesa para
pengamat bahwa masa depan partai Islam, khususnya PKS, sangat tidak
tepat.
Di negeri ini, masa depan PKS terbilang cerah karena mereka memiliki modal memadai untuk menjadi partai masa depan. Apa saja?
1. Ideologis yang Jelas dan Kokoh.
Mengapa PDI-P mampu bertahan hingga hari ini? Selain faktor keturunan
trah Soekarno, karena partai ini mempunyai ideologi yang jelas dan
kokoh yakni nasionalisme sekuler. PKS sesungguhnya mempunya modal yang
jauh melebihi PDI-P, karena ideologinya bersumber dari Islam, yang
nilai-nilainya tak akan lekang dimakan zaman.
2. Program Kaderisasi dan Kader yang Militan.
Sudah teramat banyak kisah dan kesaksian betapa militansinya
kader-kader PKS. Bahkan, ini diakui oleh pengamat politik CSIS, J.
Kristiadi.
“Saya belum pernah menyaksikan pengaderan partai yang memuaskan,
kecuali di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu mungkin subyektif,
tetapi memang seperti itu. Partai-partai saat ini tak begitu serius
merekrut dan menyeleksi anak muda yang berminat berpolitik. Akibatnya,
saat hendak pemilu mau mencalonbkan siapa masih bingung. Akhirnya
merekrut tokoh dari luar yang punya karisma, daya jual tinggi, punya
dana, demi mendapat suara. Saya melihat PKS merekrut orang muda dan
mengader dengan baik sehingga punya value, mendalami betul ideologi dan
cita-cita partai dan siap memperjuangkan cita-cita itu karena begitu
yakin.”
3. Tak Tergantung Figur.
Sejauh ini, satu-satunya partai di Tanah Air yang sangat tidak
tergantung pada figure atau ketokohan seseorang adalah PKS. Sebaliknya,
justru sistem di PKS berhasil memproduksi calon-calon pemimpin yang
selama ini tak dikenal publik. Siapa yang dulu mengenal Anis Matta,
Nurmahmudi Ismail, HNW hingga Tifatul Sembiring? Potret
ketidaktergantungan pada satu tokoh ini secara mudah bisa terekam dalam
spanduk-spanduk yang bertebaran jelang pilkada. Kader partai lain, misal
PDI-P, Demokrat, Gerindra selalu memasang spanduk mencari dukungan
dengan menampilkan wajah SBY, Megawati, Prabowo di spanduk tersebut.
Sangat figuritas dan terkesan tidak percaya diri.
4. Partai Bersih dari Korupsi.
Sejauh ini, PKS adalah partai yang relatif bersih dari praktek
korupsi. Dan saya yakin, dengan melihat visi-misi, serta bagaimana
nilai-nilai ideologis parta diinternalisasikan ke dalam jiwa kader,
praktek korupsi insya Allah sulit terjadi di tubuh PKS.
Keempat modal diatas menjadi bekal sangat penting bagi sebuah partai
agar tetap bertahan lama. Dan PKS memiliki itu. Ke depan, modal ini
harus dikelola dengan baik terutama dengan terus mendorong kader di akar
rumput agar peduli dengan masyarakat sekitarnya, seperti yang selama
ini telah dilakukan. Selain itu, kapasitas dan kompetensi kader juga
penting untuk ditingkatkan. Hasil pilgub DKI Jakarta membuktikan itu
bahwa integritas (tidak korupsi/jujur) ternyata tak cukup untuk
meyakinkan masyarakat karena harus diikuti oleh kapasitas dan
kompetensi. Singkatnya: bersih saja tak cukup, tapi juga harus
profesional, seperti tagline PKS selama ini.
Kemenangan Mursi memberikan pelajaran berharga bagi siapa saja,
termasuk PKS, bahwa kejayaan partai Islam itu memerlukan waktu teramat
panjang. Butuh 80 tahun bagi Mursi dan kawan-kawan untuk meyakinkan
masyarakat Mesir terhadap partai Islam. Dan itu harus dilalui dengan
jalan terjal penuh darah, nyawa serta airmata.
Dengan segala modal yang dimiliki PKS, mimpi menghadirkan Arab Spring
di Indonesia bukanlah utopia belaka. Saya teramat yakin, PKS mampu
menjungkirbalikkan “ramalan” prematur para pengamat bahwa partai Islam
dalam keadaan kritis dan sudah tak laku.
Bukankah Allah telah berjanji dalam firmannya:
Jika kamu pada perang Uhud mendapat luka, maka sesungguhnya kaum
kafir itupun pada perang Badar mendapat luka yang serupa. Dan masa
kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan diantara manusia agar
mereka mendapat pelajaran. Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman dengan orang-orang kafir supaya sebagian kamu dijadikan-Nya
gugur sebagai syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.
(QS. Ali-Imran ayat 140).
Erwyn Kurniawan
Sumber : Berita PKS.Com
Posted By : DPC PKS Beringin DS