Assalamu'alaikum, Selamat Datang di Blog Resmi DPC PKS Beringin Deli Serdang - Provinsi Sumatera Utara. www.pks-beringin.blogspot.com. Jika ada pertanyaan dan saran harap di kirimkan ke Email DPC PKS Beringin di.. pks.beringin.deliserdang@gmail.com

Senin, 02 April 2012

Senin, 02 April 2012

Syarah Bulughul Maram (Bag. 3)


Oleh: Farid Nu’man Hasan

Kitabuth Thaharah – Babul Miyah
Hadits ke 5:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –   لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
                Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Janganlah salah seorang kalian mandi di air yang tergenang (diam) dan dia dalam keadaan junub.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim)
Takhrij Hadits:

-          Imam Muslim  dalam Shahihnya No. 283
-          Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 220, 331, 396
-          Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 605
-          Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1063
-          Imam Ath Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al Aatsar No. 15
-          Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 1252
-          Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 93
-          Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 26586
-          Imam Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 779
Status Hadits:

-          Hadits ini shahih, dan dimasukkan oleh Imam Muslim, Imam Ibnu Khuzaimah, dan Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahih mereka masing-masing.
Kandungan Hadits:

                Ada beberapa pelajaran dari hadits ini:
1.       Tentang Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, siapakah dia?
Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Ishaq Rahimahullah, katanya:
اسْمُ أَبِي هُرَيْرَةَ: عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ صَخْرٍ، مُخْتَلَفٌ فِي اسْمِهِ
                “Nama Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakr, terjadi perbedaan pendapat tentang namanya.” (Imam Abu Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah, 4/1846)
                Imam An Nawawi Rahimahullah menyebutkan:
اختلف فى اسمه اختلافًا كثيرًا جدًا. قال الإمام الحافظ أبو عمر بن عبد البر: لم يختلف فى اسم أحد فى الجاهلية ولا فى الإسلام كالاختلاف فيه. وذكر ابن عبد البر أيضًا أنه اختلف فيه على عشرين قولاً، وذكر غيره نحو ثلاثين قولاً، واختلف العلماء فى الأصح منها، والأصح عند المحققين الأكثرين ما صححه البخارى وغيره من المتقنين أنه عبد الرحمن بن صخر.
                “Terjadi perselisihan pendapat yang sangat banyak tentang namanya. Al Imam Al Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Belum pernah terjadi pada masa jahiliyah dan masa Islam perbedaan masalah nama sebagaimana namanya.” Ibnu Abdil Bar juga menyebutkan bahwa perbedaan ini ada dua puluh pedapat, yang lain mengatakan tiga puluh pendapat, dan para ulama berselisih pendapat mana yang paling benar. Dan, yang paling benar menurut  mayoritas muhaqqiqin (peneliti) adalah apa yang dishahihkan oleh Al Bukhari dan lainnya dari kalangan ulama yang mutqin (teliti), bahwa namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr.” (Tahdzibul Asma wal Lughat, No. 877. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
أكثر النّاس لايعرفون اسم أبي هريرة رضي الله عنه،ولهذا وقع الخلاف في اسم راوي الحديث،وأصحّ الأقوال وأقربها للصواب ما ذكره المؤلف رحمه الله أن اسمه:
عبد الرحمن بن صخر. وكنّي بأبي هريرة لأنه كان معه هرّة قد ألفها وألفته، فلمصاحبتها إيّاه كُنّي بها.

                “Kebanyakan manusia tidak mengetahui nama Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, oleh karena itu terjadilah perbedaan pendapat tentang nama periwayat hadits ini, dan pendapat yang paling benar dan lebih dekat dengan kebenaran adalah yang disebutkan oleh penyusun kitab ini (Imam An Nawawi) Rahimahullah bahwa namanya adalah: Abdurrahman bin Sakhr. Lalu, dia diberikan kun-yah (gelar)  dengan Abu Hurairah karena dia memiliki seokor kucing (Hirrah) yang senantiasa bersamanya, maka karena pertemanan itulah dia dijuluki dengan itu.” (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal.  129. Mawqi’ Ruh Al Islam)
                Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menceritakan tentang Abu Hurairah:
                “Dia adalah seorang Imam, Al Faqih (paham agama), Al Mujtahid, Al Hafizh, Seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani (orang Yaman), pemimpinnya para Huffazh yang terpercaya. Terjadi banyak perbedaan pendapat pada namanya, namun yang benar adalah Abdurrahman bin Sakhr. Ada yang mengatakan namanya adalah: Ibnu Ghanam, ada juga: Abdusysyams, Abdullah. Ada yang mengatakan: Sikkiin. ada juga:  ‘Aamir. Ada yang menyebut:  Bariir. Ada yang menyebut: Abdu bin Ghanam. Ada juga: ‘Amru. Ada yang menyebut: Sa’id.
                Disebutkan bahwa pada masa jahiliyah namanya adalah Abdusysyam, Abul Aswad.  Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggantinya dengan Abdullah, dan memberinya kun-yah:  Abu Hurairah (Bapak si kucing kecil).    Telah masyhur bahwa dia diberikan kun-yah dengan sebutan anak kucing.
                Dia telah meriwayatkan banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga dari banyak sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar, ‘Aisyah, Ubay,  Usamah bin Zaid, Al Fadhl, Bashrah bin Abi Bashrah, dan lainnya. Sedangkan yang mengambil hadits darinya adalah para sahabat dan tabi’in, dikatakan; sampai 800 orang. Imam Bukhari mengatakan bahwa yang meriwayatkan hadits darinya ada 800 orang atau lebih.
                Disebutkan bahwa kedatangan dan keislamannya adalah pada tahun ke tujuh, pada tahun perang khaibar. Qais berkata: bahwa Abu Hurairah mengatakan keada kami: “Saya  besahabat dengan nabi selama tiga tahun.” Sedangkan Hamid bin Abdurrahman Al Humairi mengatakan: “Dia menemani nabi selama empat tahun.”  Kata Adz Dzahabi: “Inillah yang benar.” Abu Shalih mengatakan: “Abu Hurairah adalah sahabat nabi yang paling hafizh.”
                Terjadi perbedaan para sejarawan kapan wafatnya. Al Waqidi menyebutkan Abu Hurairah wafat tahun 59 Hijriyah, usia 78 tahun.
 Al Waqidi mengatakan Abu Hurairah menyalatkan wafatnya  ‘Aisyah, yakni pada Ramadhan 58 Hijriyah, dan menyalatkan Ummu Salamah pada Syawal 59 Hijriyah.”
Abu Ma’syar, Dhamrah, Abdurrahman bin Maghra, Al Haitsam dan lainnya mengatkan, wafat tahun 58 Hijriyah.
Hisyam bin ‘Urwah mengatakan bahwa Abu Hurairah wafat tahun 57 Hijriyah, dua tahun sebelum wafatnya Mu’awiyah. Beliau wafat di Madinah dan dimakamkan di Baqi’. Wallahu A’lam (Lengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 2/578- 633)
2.       Tenang makna  اَلْمَاء اَلدَّائِم, para ulama menjelaskan:
وهو  الراكد الساكن
                Artinya Ar Raakid (tenang, diam) As Saakin (tenang tidak bergerak). (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 1/19. Maktabah Mushthafa Al Baabi Al Halabi)
                Makna kalimat ini sebenarnya dijelaskan oleh hadits lain, yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari sebagaimana yang akan nanti disebutkan.
3.       Tentang makna  وهو جنب  – wa huwa Junub, para ulama menjelaskan:
الجملة في موضع نصب على الحال
                 Kalimat yang menunjukkan pada keadaan. (Syaikh Abdullah Al Bassam, Taisirul ‘Alam Syarh Al ‘Umdah Al Ahkam, 1/5)
4.       Hadits ini secara zahirnya menunjukkan terlarangnya seseorang mandi dalam keadaan junub ke dalam air yang tergenang alias tidak mengalir; atau dengan kata lain terlarang mandi janabah di air yang tergenang. Maka, mafhum mukhalafah (makna implisit)nya adalah:
-          Bolehnya mandi yang bukan mandi janabah alias mandi biasa saja di air yang tergenang, selama air itu masih suci
-          Bolehnya mandi janabah pada air yang tidak tergenang  (mengalir)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
فيه الكلام عن الجنابة، ولكنه إذا كان مجرد تنظف وليس رفع حدث وليس فيه ذلك القذر الذي يكون بالماء ويكون في الماء، فالذي يبدو أنه لا مانع منه؛ لأن المنع إنما كان للجنابة فقط الذي هو رفع حدث، وأما ذاك فليس فيه رفع حدث.
Pada hadits ini disebutkan pembicaraan tentang janabah, tetapi jika mandinya adalah sekedar mandi, bukan untuk menghilangkan hadats, dan tidak ada padanya kotoran tersebut, baik yang  muncul  karena air itu, dan tidak pula air itu menjadi kotor, maka yang nampak adalah bahwa hal itu tidak terlarang. Sebab larangan hanyalah bagi yang mandi janabah untuk menghilangkan hadats, ada pun yang ini tidak ada hadats yang dihilangkan. (Syarh Sunan Abi Daud, 1/286)
Namun Asy Syaikh Utsaimin Rahimahullah mengatakan, bahwa larangan ini berlaku bagi mandi janabah dan mandi lainnya secara umum. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘ala Bulughil Maram, 2/6)
Sebagian ulama mengkategorikan larangan ini bukan haram tetapi makruh. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
فقال العلماء من أصحابنا وغيرهم يكره الاغتسال في الماء الراكد قليلا كان أو كثيرا
Berkata para ulama dari sahabat-sahabat kami (yakni Syafi’iyah, pen) dan selain mereka, dimakruhkan mandi di air yang diam, baik sedikit atau banyak. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/189. Dar Ihya At Turats)
Lalu, beliau mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:
قال الشافعي وسواء قليل الراكد وكثيره أكره الاغتسال فيه هذا نصه وكذا صرح أصحابنا وغيرهم بمعناه وهذا كله على كراهة التنزيه لا التحريم
Berkata Asy Syafi’i: “Sama saja, baik air tergenang yang sedikit atau banyak, aku membencinya untuk mandi di dalamnya.” Inilah perkataannya. Demikian juga yang dijelaskan para sahabat kami dan selain mereka dengan artian bahwa semua ini adalah makruh tanzih, bukan tahrim (mendekati haram). (Ibid)
Makruh ada macam, yaitu makruh tanzih yakni makruh yang mendekati boleh, dan makruh tahrim yakni makruh yang mendekati haram.
5.       Hadits ini juga menunjukkan kedudukan yang berbeda antara air tergenang dan air mengalir. Air tergenang begitu besar peluang untuk terkena najis dan bertahannya najis tersebut. Berbeda dengan air mengalir yang jika terkena najis, maka mengalirnya air tersebut membuat hilangnya najis sehingga dia tetap suci.
Hadits ke 6:
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menulis:
وَلِلْبُخَارِيِّ: – لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
                Dalam riwayat Imam Bukhari: “Janganlah salah seorang kalian kencing pada air yang diam yang tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalamnya (fiihi).”
Takhrij hadits:
-          Imam Al Bukhari dalam Shahihnya No. 239
-          Imam AthThahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar No. 15
-          Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 26419
Kandungan Hadits:
1.       Pada hadits ini mengandung dua larangan:
Pertama, terlarangnya kencing di air yang tergenang.
Kedua, terlarangnya mandi di air tergenang yang telah dikencingi tersebut.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa hadits ini sebagai perinci dari hadits sebelumnya. Hadits ini menyebutkan sebab kenapa terlarang mandi di air tergenang, yaitu karena air tersebut telah dia kencingi. Artinya larangan terjadi jika dua aktifitas tersebut menjadi satu paket yang berurut; dia kencing   kemudian mandi di air tersebut. Jika dia tidak kencing di air tersebut, maka tidak terlarang untuk mandi di dalamnya, tetapi larangan kencing di air tergenang tetaplah mutlak terlarang.
Inilah yang dikatakan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah, sebagai berikut:
وإن أفاد أن النهي إنما هو عن الجمع بين البول والاغتسال، دون إفراد أحدهما، مع أنه ينهى عن البول فيه مطلقاً
Faidah hadits ini adalah bahwa larangan hanyalah terjadi bagi penggabungan antara kencing dan mandi, bukan ketika dipisahkan satunya, hanya saja larangan kencing di dalamnya adalah larangan yang mutlak. (Subulus Salam, 1/20)
Sementara ulama lain menjelaskan, bahwa larangan tersebut adalah satu persatu. Mandi junub di air tergenang adalah terlarang, juga kencing di air tergenang adalah terlarang, karena keduanya memiliki dalilnya masing-masing.  Ada pun menggabungkan kedua perbuatan itu lebih terlarang lagi.
Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:
( لا يبولن أحدكم في الماء الدائم ولا يغتسل فيه من الجنابة ) وهذا الحديث صريح المنع من كل واحد من البول والاغتسال فيه على انفراده
                (Janganlah salah seorang kalian kencing di air tergenang dan janganlah mandi janabah di dalamnya) hadits ini begitu jelas melarang masing-masingnya, baik kencing dan mandi di dalamnya, secara tersendiri. (‘Aunul Ma’bud, 1/93)
Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan bahwa larangan kencing secara tersendiri, mandi secara tersendiri, dan menggabungkan keduanya, semuanya ada dalilnya masing-masing:
فيؤخذ من هذا الحديث النهى عن الجمع، ومن رواية مسلم التالية النهى عن إفراد الاغتسال، ومن حديث جابر الآتي عن إفراد البول، والنهى عن كل واحد منهما على انفراده ليستلزم النهى عن فعلهما جميعاً بالأولى، وقد ورد النهى عن كل واحد منهما في حديث واحد
                Dari hadits ini, larangan ditetapkan pada gabungannya (kencing dan mandi), pada riwayat muslim berikutnya larangan pada mandi secara tersendiri, dari hadits Jabir larangan pada kencing secara tersendiri, dan larangan pada setiap masing-masing hal itu menunjukkan kemestian lebih terlarangnya melakukan keduanya secara bersama-sama, dan setiap hal ini telah terdapat hadits yang melarangnya secara tersendiri . (Mir’ah Mafatih Syarh Misykah Al Mashabih, 2/169)
                Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Rahimahullah juga berkata:
فدل هذا على المنع من البول والاغتسال اجتماعاً وافتراقاً، اجتماعاً بأن يبول ويغتسل، أو افتراقاً بأن يبول ولا يغتسل، أو يغتسل ولا يبول.
                Hadits ini menunjukkan bahwa larangan kencing dan mandi adalah baik bersama-sama dan masing-masing. Larangan kencing dan mandi berbarengan,  atau sendiri-sendiri kencing saja tanpa mandi, atau mandi saja tanpa kencing. (Syarh Sunan Abi Daud, 1/286)
                Jadi, bisa disimpulkan dari uraian para ulama di atas:
-          Larangan mandi janabah di air yang diam, ada haditsnya tersendiri. (Lihat hadits ke-5)
-          Larangan kencing di air yang diam, ada haditsnya tersendiri. (Lihat hadits ke-6)
-          Larangan mandi di air yang telah kita kencingi sebelumnya, ada haditsnya tersendiri (Lihat hadits ke-6)
2.       Kalimat  اَلَّذِي لَا يَجْرِيair yang tidak mengalir, merupakan penjelas dari kalimat  اَلْمَاء اَلدَّائِمair yang diam, yang disebutkan pada hadits sebelumnya.
3.       Kata tsumma yaghtasilu fiihi (kemudian dia mandi padanya), yaitu dia mandi dengan menceburkan dirinya ke dalam air tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
أن الذي يغتسل فيه يعني ينغمس فيه
                Bahwasanya makna dari yaghtasilu fiihi adalah dia menceburkan diri di dalamnya. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘alal Bulughil Maram, 2/6)
                Sehingga, jika seseorang mandi dengan cara berendam di air tergenang, maka air tersebut menjadi air musta’mal (air yang sudah dipakai).  Itulah sebabnya kita dilarang mandi di sana, sebab itu bisa merusaknya sehingga tidak bisa lagi untuk bersuci, tentunya  pendapat ini bagi yang berpendapat air musta’mal adalah tidak bisa mensucikan, yakni sebagian kalangan Hanafiyah.
                Al Hafizh Ibnu Hajar menceritakan:
واستدل به بعض الحنفية على تنجيس الماء المستعمل لأن البول ينجس الماء فكذلك الاغتسال وقد نهى عنهما معا وهو للتحريم
                Sebagian Hanafiyah berdalil dengan hadits ini, bahwa najisnya air musta’mal, karena kencing bisa menajiskan air, demikian juga mandi, dan keduanya telah dilarang bersamaan, dan larangan itu menunjukkan haram. (Fathul Bari, 1/374)
                Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:
وذهب جماعة من العلماء كعطاء وسفيان الثوري والحسن البصري والزهري والنخعي وأبي ثور وجميع أهل الظاهر ومالك والشافعي وأبي حنيفة في إحدى الروايات عن الثلاثة المتأخرين إلى طهارة الماء المستعمل للوضوء   
                Jamaah para ulama seperti ‘Atha, Sufyan Ats Tsauri, Al Hasan Al Bashri, Az Zuhri, An Nakha’i, Abu Tsaur, semua ahli zhahir (tekstualis), Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah pada salah satu riwayat dari tigara riwayat kalangan generasi muta’akhirin (belakangan), mereka berpendapat bahwa sucinya air musta’mal untuk berwudhu.  (‘Aunul Ma’bud, 1/93)
          Alasannya adalah hadits Shahih Bukhari, dari Abu Juhaifah yang menceritakan para sahabat menggunakan air bekas wudhu nabi untuk mengusap diri mereka, juga dari Abu Musa dan Bilal, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Abu Musa dan Bilal untuk meminum sisa wudhu Beliau, juga mengusap wajah mereka berdua dengannya. (1/93)
Hadits 7:
                Al Hafizh Ibnu Hajar menulis;
وَلِمُسْلِمٍ: “مِنْهُ”
                Pada riwayat Imam Muslim disebutkan: minhu (darinya).
                Lengkapnya adalah:
لَا تَبُلْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ تَغْتَسِلُ مِنْهُ
Janganlah kamu kencing di air  diam yang tidak mengalir, kemudian kamu mandi darinya (minhu).
Takhrij hadits:
-          Imam Muslim dalam Shahihnya No. 282
-          Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 8186
Status Hadits:
                Hadits ini shahih, disebutkan Imam Muslim dalam kumpulan hadits shahihnya, Jami’ush Shahih. Asy Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari dan muslim).” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8186)
Kandungan Hadits:
1.       Hadits ini sama dengan hadits sebelumnya mengandung larangan kencing di air tergenang secara tersendiri, atau dia lalu mandi di dalamnya setelah dia kencing di air tersebut.
2.       Hadits ini menggunakan kata yang berbeda dengan sebelumnya yakni tsumma taghtasilu minhu (kemudian kalian mandi darinya), bukan tsumma yaghtasilu fiihi.
Perbedaan pemakaian fiihi dan minhu, dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
والفرق بين فيه ومنه أن الذي يغتسل فيه يعني ينغمس فيه ومنه يعني يغترف منه ويغتسل به وكلاهما منهي عنه
                Perbedaan antara fiihi (padanya) dan minhu (darinya) adalah bahwa makna yaghtasilu fiihi (dia mandi padanya) yakni dia menceburkan diri ke dalamnya (berendam), ada pun minhu (darinya) adalah dia menciduknya dan dia mandi dengannya, dan kedua hal ini adalah terlarang. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘alal Bulughil Maram, 2/6)
Hadits 8:
                Al Hafizh Ibnu Hajar juga menambahkan:
وَلِأَبِي دَاوُدَ: – وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ
                Dan pada riwayat Abu Daud: “Janganlah mandi janabah padanya (fiihi).”
                Lengkapnya adalah:
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ
                Janganlah salah seorang kalian kencing pada air tergenang dan janganlah  mandi janabah padanya.
Takhrij Hadits:
-          Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 70
-          Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 398
-          Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 9596
-          Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 285
-          Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1064
-          Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No.  1257
-          Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 26422
Status Hadits:
-          Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, dengan dimasukkannya hadits ini dalam kitab Shahihnya.
-          Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad menceritakan bahwa semua perawi hadits ini, adalah jujur dan terpercaya. (Lihat rinciannya dalam Syarh Sunan Abi Daud,  1/286)
-          Syaikh Al Albani menilai: hasan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 70)
Kandungan hadits:
1.       Hadits ini sama dengan sebelumnya, yakni larangan kencing di air diam, dan larangan mandi dalam keadaan junub di air diam, atau larangan mandi janabah di air yang telah dikencingi.
2.       Hikmah dilarangnya mandi di air tergenang adalah karena air tersebut memiliki potensi besar tidak aman dari najis dan kotoran yang berasal dari manusia dan hewan. Biasanya ini terjadi pada air tergenang yang berada di alam terbuka seperti kubangan, empang, kolam ikan, bahkan kolam renang, yang semuanya tidak dialirkan sehingga tidak terganti dengan air yang baru. Maka, maka itulah sebabnya  menjadi terlarang.
Namun, sebagaian fuqaha berpandangan lain, bahwa larangan orang junub untuk mandi di air tergenang, disebabkan karena keadaan junub mereka membuat air tersebut menjadi rusak, dan tidak layak dijadikan air untuk mandi dan bersuci; seakan air itu juga menjadi junub karenanya
Al ‘Allamah Ibnu At Turkumani Rahimahullah menjelaskan hal tersebut berserta alasannya:
فاستدل به بعض الفقهاء على ان اغتسال الجنب في الماء يفسده لكونه مقرونا بالنهي عن البول فيه
Sebagian ahli fiqih berdalil dengan hadits ini, bahwa mandinya orang junub pada air maka itu bisa merusakkannya, alasannya adalah karena hal ini dibarengi dengan pernyataan larangan kencing di dalamnya. (Al Jauhar An Naqiy, 8/323)
Jadi, sebagaimana kencing di air yang tergenang bisa merusak air tersebut, maka orang junub yang  nyebur di dalamnya juga bisa merusakannya, oleh karenanya keduanya dilarang dalam hadits ini.
Tetapi, pemahaman ini dipandang lemah dan bertentangan dengan riwayat berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُجْنِبُ
Dari Ibnu Abbas, katanya: “Sebagian istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mandi di jafnah (bak besar), lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang untuk berwudhu dari air tersebut atau dia mandi. Berkatalah isterinya kepadanya: ‘Wahai Rasulullah, saya sedang keadaan junub.’ Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab; “Sesungguhnya air tidaklah junub.” (HR. Abu Daud No. 68, At Tirmidzi No. 65, katanya: hasan shahih. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 859, Ibnu Hibban No. 1248, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 355)
3.       Adapun air tergenang yang memang berasal dari air tanah yang suci dan bersih, telaga, mata air, sungai,  atau air tadah hujan, lalu semuanya ditampung di bak mandi, tempayan, tangki air, atau ember, yang semuanya pada asalnya adalah suci dan bersih secara meyakinkan. Maka, semua ini –walau termasuk air diam karena memang diwadahkan- adalah boleh dimanfaatkan karena bersih dan sucinya, baik keperluan makan minum, atau bersuci dan mandi. Ini dibenarkan oleh syara’ selama air tersebut tidak terkena najis yang membuatnya berubah warna, bau, dan rasa (sebagaimana pembahasan pada hadits 1-4), dibenarkan pula oleh ‘urf (kebiasaan) yang berlaku pada masyarakat kaum muslimin dari zaman ke zaman tanpa ada yang mengingkarinya. Sebab, air pada wadah-wadah ini jauh dari kemungkinan terkena najis dan kotoran, kecuali memang sengaja dibuat demikian.
Wallahu A’lam
(bersambung …)

Posted By : PKS Beringin DS
Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia Adalah Ibadah

 

"Terima Kasih Atas Kunjungannya dan Sebelumnya Meminta Maaf, Apabila ada Kesalahan dan Kekhilafan dalam Menyajikan Informasi Serta terdapat Link-Link yang belum Aktif". Jazzaakallah Khairan Katsiran, Assalamu'alaikum Wr, Wb. ^_^

Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates