Jika kita melawat ke Shibuya di Negeri Sakura, masyarakat di sana akan menganjurkan kita menengok patung Hachiko. Shibuya adalah sebuah kota yang berada di wilayah Tokyo. Kota ini tampak sangat sibuk, dan selalu padat dikunjungi banyak warga masyarakat, baik warga asli Jepang maupun para pendatang dan tentu saja, turis. Banyak orang menyebut Shibuya adalah kotanya anak muda, karena di sini banyak disinggahi anak-anak muda untuk berbelanja dan membuat janji pertemuan.
Saat saya mengunjungi patung Hachiko di Shibuya, rekan yang mengantarkan saya ke tempat itu tidak bisa menceritakan dengan detail, mengapa Hachiko dijadikan simbol kesetiaan, dan menjadi demikian populer kisahnya. Sekarang saja saya baru mengerti, setelah mencoba membaca beberapa postingan di berbagai blog dan milis. Salah satunya saya dapatkan dari Jimmy Bonang di Kompasiana. Tapi ternyata ada beberapa versi yang berbeda tentang kisah hidup Hachiko.
Konon, kisahnya bermula dari kelahiran seekor anjing berjenis Akita, di sebuah desa bernama Odate, provinsi Akita, sekitar bulan November 1923. Saat anjing ini berumur dua bulan, dia dibawa ke Tokyo oleh Prof. Ueno. Sang profesor inilah pemilik anjing dan sekaligus teman setianya. Ia bekerja di Universitas Tokyo di Fakultas Pertanian (agriculture).
Prof. Ueno biasa memanggil anjing ini dengan sebutan “Hachi”, yang berarti delapan. Kata “Ko” yang ada di belakang nama Hachi-Ko, adalah tambahan untuk orang Jepang yang berarti anak. Dengan demikian Profesor mengakui Hachiko sebagai keluarga sendiri, serta teman terbaiknya. Hachiko kecil suka makanan Yakitori (sate ayam).
Hachiko akhirnya tinggal bersama profesor Ueno di kota Shibuya. Saya menemukan nama profesor ini adalah Hidesamuro Ueno, tapi ada yang menyebutnya Eisaburo Ueno. Jadi kita sebut Prof. Ueno saja.
Karena hanya tinggal berdua membuat hubungan mereka sangat dekat. Setiap pergi bekerja, Hachiko selalu setia untuk mengantarkan sang profesor ke stasiun kereta dan juga setia menunggunya di stasiun kereta, tanpa beranjak ke tempat lain. Hachiko setia melakukan hal tersebut setiap hari tanpa bosan.
Pagi itu, merupakan pagi yang sangat dingin di kota Shibuya. Salju turun dengan lebat dan juga menutupi segalanya. Seperti biasa sang profesor berangkat mengajar ke kampus. Inilah keuletan dan etos kerja khas Jepang. Udara yang sangat dingin membeku itu pun tidak mencegahnya untuk pergi. Dengan jaket tebal dan payung, sang profesor berangkat ke stasiun kereta Shibuya ditemani Hachiko, anjing yang setia.
Mereka berdua sampai di stasiun kereta Shibuya, dan seperti biasa kereta tiba tepat waktu. Para pegawai stasiun maupun awak kereta yang sudah sangat mengenal sang profesor dan Hachiko, tampak berbincang-bincang sebentar. Setelah mengelus-elus Hachiko dengan penuh kasih sayang, sang profesor pun masuk ke gerbong kereta. Hachiko hanya melihat dari balkon ke arah kereta, seakan ingin mengucapkan “Aku akan menunggu disini”.
Sesampai di kampus, profesor segera mengerjakan penelitiannya di laboratorium dan mengajar. Saat menuju laboratorium, ia merasa dadanya sesak dan sulit bernafas. Mendadak sang profesor pingsan. Suasana kampus gempar, ternyata Prof. Ueno telah meninggal dunia. Pihak kampus langsung menghubungi keluarga Prof. Ueno dan para sahabat dekat, setelah itu segera membawa jenazah ke kampung halaman sang profesor, bukan ke rumahnya di Shibuya.
Hachiko yang setia menunggu di stasiun kereta tidak mengetahui bahwa tuannya telah meninggal dunia. Malam semakin larut dan Hachiko pun mulai gelisah, ia mondar-mandir untuk menghilangkan kegelisahannya. Orang-orang yang turun dari kereta pun banyak yang mencoba menghiburnya namun ia tetap saja merasa cemas. Hari demi hari pun terlah berlalu namun Hachiko tetap setia menunggu di stasiun, ia pun tidak makan sehingga badannya terlihat kurus.
Seorang tukang kebun profesor bernama Kikuzaburo Kobayashi melihat Hachiko yang setia menunggu sahabatnya di stasiun Shibuya, merasa kagum sekaligus iba. Kikuzaburo setiap hari datang untuk memberi makan kepada Hachiko sesuai dengan apa yang diberi profesor, Yakitori dan Stomach.
Tahun 1928, stasiun kereta Shibuya mengalami perombakan total. Di stasiun baru itu, Hachiko tetap berlarian dan mencari-cari sahabatnya, Prof. Ueno yang telah tiada. Hachiko tetap menunggu Ueno, tidur di salah satu sisi toko di dalam stasiun untuk menunggu sahabatnya.
Di tahun yang sama, seorang peneliti anjing jenis Akita, yang juga salah satu murid Ueno, melihat banyak hal menarik tentang Hachiko. Dia mengamati bagaimana Hachiko menunggu di stasiun, hingga mengikuti Hachiko ke rumah Kobayashi. Dari Kobayashi, murid Ueno itu mendapat banyak informasi tentang Hachiko. Dia pun mulai menulis artikel tentang Hachiko.
Berita tentang Hachiko pun mulai menyebar di negeri jepang. “Faithful Old Dog Awaits Return of Master Dead for Seven Years” adalah berita yang dimuat di harian Asahi pada 4 Oktober 1933. Hachiko pun semakin tenar dan semakin tersohor hingga seluruh pelosok negeri Jepang.
Bulan pun berganti, musim terlewat sudah, namun Hachiko tetap setia menunggu tuannya di stasiun Shibuya. Hingga suatu hari seorang pegawai pembersih menemukan tubuh Hachiko telah kaku dan sudah meninggal. Warga yang mendengar kabar kematian Hachiko pun berbondong-bondong datang ke stasiun Shibuya. Mereka datang untuk menghormati kesetiaan Hachiko yang luar biasa kepada tuannya.
Tahun 1934 didirikan patung Hachiko di depan stasiun Shibuya dan sempat mengalami perombakan pada tahun 1948 karena Perang Dunia II. Konon, Hachiko meninggal pada 8 Maret 1935. Tetapi patung Hachiko masih setia menunggu Profesor Ueno di pintu keluar stasiun Shibuya sampai sekarang, yang kemudian diberi nama Pintu Hachiko Shibuya. Hachiko duduk seperti puluhan tahun lalu menunggu Ueno pulang.
Di sekitar lokasi patung Hachiko ini, sekarang sering digunakan masyarakat Jepang untuk tempat janji bertemu. Patung Hachiko pun dijadikan simbol kesetiaan. Ya, sebuah kesetiaan yang tulus sampai mati.
Patung Hachiko kini terdapat di tiga tempat, di Shibuya, di Akita serta tempat kelahiran Hachiko, di Odeta.
Sumber : http://cahyadi-takariawan.web.
Posted By : PKS BERINGIN DS