Islamedia - Menjadi ibu
adalah kodrat setiap wanita, tetapi pilihan untuk menekuni diri sebagai
ibu rumah tangga bukanlah tugas yang mudah. Di tengah kepungan budaya
Barat dan penjajahan media, kaum wanita hari ini telah meninggalkan
identitas mulianya sebagai ‘benteng ummat’.
Sebagian mereka menyibukkan diri dengan urusan-urusan kecil yang remeh, pernak-pernik perhiasan dan persaingan gaya hidup modern yang menjauhkan mereka dari keutamaan individu dan sosial. Seorang ibu dengan tampilan ‘wah’ yang bergelut mengejar materi dan status sosialnya akan lebih disegani dibandingkan ibu rumah tangga sederhana yang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Sebagian mereka menyibukkan diri dengan urusan-urusan kecil yang remeh, pernak-pernik perhiasan dan persaingan gaya hidup modern yang menjauhkan mereka dari keutamaan individu dan sosial. Seorang ibu dengan tampilan ‘wah’ yang bergelut mengejar materi dan status sosialnya akan lebih disegani dibandingkan ibu rumah tangga sederhana yang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Hidup di zaman ini membutuhkan ketahanan yang luar biasa. Sebagai
muslim, bekal ilmu dan keduniaan yang dikaruniai Allah Swt seharusnya
meyakinkan mereka akan kebenaran petunjuk Allah yang menegaskan prinsip
kesetaraan (gender equality), bahwa kaum ibu bermitra sejajar dengan
kaum laki-laki, dalam posisi yang sangat istimewa. Yaitu sebagai
pendidik generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan diri dan
keluarganya. Mendidik diri dan keluarganya untuk selalu memahami dan
mengikuti bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Inilah investasi besar yang
sering diremehkan oleh para ‘penikmat dunia’.
Pesan Istimewa untuk Para Wanita
Salah satu pesan istimewa Allah Swt kepada kaum wanita diabadikan
dalam ayat berikut; “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS.
33:33).
Sesungguhnya kemajuan di zaman ini banyak diilhami oleh ayat diatas.
Allah Swt menghendaki kaum wanita agar berperilaku lemah lembut, pemalu
dan penuh kasih sayang kepada orang-orang di sekitarnya, tidak melakukan
ucapan dan tindakan yang menimbulkan godaaan yang akan menjatuhkan
martabat kaum wanita.
Karena, kehalusan budi dan tingkah laku wanita adalah salah satu
pilar utama kehidupan. Ibu-ibu yang shalih akan mendidik anak-anaknya
untuk menjadi shalih.
Bahkan, kaum ibu dahulu mampu membangun karakter pribadinya dan
melakukan berbagai aktifitas keilmuan dibalik “tembok sunyi “ yang dapat
menjaga sifat dan rasa malu. Itulah kehendak Allah atas kaum wanita.
Karakter dan psikis wanita tersebut selaras dengan kondisi fisik yang
diciptakan Allah Swt dalam bentuk yang berbeda dari kondisi yang
dimiliki kaum laki-laki. Tubuh wanita diciptakan dalam bentuk yang
sesuai benar dengan tugas keibuan, sebagaimana dengan jiwanya yang
disiapkan untuk menjadi rumah tangga dan ratu keluarga. Secara umum,
organ tubuh wanita, baik yang terlihat maupun yang tidak tersembunyi,
otot-otot dan tulang-tulangnya serta sebagian besar fungsi organiknya
hingga tingkat yang sangat jauh, berbeda dengan organ tubuh kaum
laki-laki yang menjadi pasangannya. Perbedaan dalam struktur dan organ
tubuh ini tidak lah sia-sia, sebab tidak ada satu
pun benda, baik dalam tubuh manusia maupun yang ada di seluruh jagat raya ini yang tidak mempunyai hikmah tertentu.
Fitrah Mulia Kaum Ibu
Dengan perbedaan struktur tubuh tersebut, kaum wanita memiliki
perasaan dan emosi yang lebih sensitif. Abbas Mahmud al-‘Aqqad
mengatakan. “Adalah sesuatu yang alami jika kaum wanita memiliki kondisi
emosional yang khusus yang berbeda dengan kondisi yang dimiliki kaum
laki-laki”. Keharusan melayani anak yang dilahirkannya tidak terbatas
dengan memberi makan dan menyusui. Akan tetapi, dia harus selalu
memiliki hubungan emosional yang menuntut banyak hal yang saling
melengkapi antara apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada
suaminya.
Pemahaman dirinya dalam suatu masalah harus berhadapan dengan
pemahaman suaminya yang mungkin saja berbeda. Bahkan, antara tingkat
emosinya dengan emosi suaminya harus benar-benar terjaga
keseimbangannya. Seorang ibu yang mulia akan memahami betul saat gembira
dan sedihnya anak-anak. Demikian halnya sang ibu akan mengajarkan
dengan suka ria tentang bagaimana menunjukkan rasa cinta, simpati dan
benci kepada orang lain dengan cara-cara yang baik dan bijaksana.
Sifat-sifat mendasar dalam fungsi pengasahan dan bimbingan terhadap
anak-anak ini merupakan salah satu dari sekian banyak sumber kelembutan
kewanitaan yang menyebabkan kaum wanita lebih sensitif dalam merespon
perasaan. Sebaliknya, apa yang tampak mudah bagi kaum laki-laki bisa
menjadi sulit bagi kaum wanita, misalnya dalam menggunakan rasio,
menyusun pendapat dan mengerahkan kemauan. Itulah fitrah kaum ibu yang
sesungguhnya mulia tetapi seringkali dipandang kelemahan yang
memperdaya.
Salah Paham Memandang Islam
Dalam banyak ayat yang tersebar di dalam al-Qur’an, Allah Swt telah
meletakkan kedudukan kaum wanita pada tempat tertinggi dalam sepanjang
sejarah kemanusiaan dan akan terus demikian hingga akhir zaman.
Sayangnya, ayat-ayat Allah yang dikuatkan dengan hadits Rasulullah Saw
itu seringkali disalah-tafsirkan, termasuk oleh para ulama kita sendiri.
Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam buku Qadhaya al-Mar`ah bayna at-Taqalid ar-Rakidah wa al-Wafidah, dengan
yakin mengatakan; “Fatwa terkenal di kalangan kaum muslimin yang
kemudian diambil alih oleh musuh-musuh Islam adalah tuduhan bahwa Islam
telah mendirikan dinding pembatas yang tinggi antara laki-laki dan
perempuan, sehingga keduanya tidak dapat saling melihat satu sama lain.
Bahkan sekadar memandang pun hukumnya haram”. Kita juga pernah
dikejutkan dengan ucapan seorang khatib yang mengatakan, “wanita tidak
boleh keluar dari rumahnya kecuali pergi ke rumah suaminya (sesudah
menikah) dan ke kuburan (untuk dikuburkan)!
Tentu saja, fatwa dan khutbah tersebut lahir dari pemahaman dan
tafsiran terhadap ayat-ayat Allah dan hadits Nabi Saw yang patut
ditinjau ulang. Karena memang, ada masalah dalam fenemona umat Islam
berkenaan dengan kemurniaan dan kedalaman riwayat-riwayat hadits yang
diterapkan. Diakui, terdapat ulama yang menyebutkan riwayat-riwayat yang
tidak sahih dan para ahli fiqh yang tidak memperhatikan perubahan
hakikat Islam dan perkembangan zaman. Seperti hadits yang diriwayatkan
oleh Fatimah Ra bahwa wanita tidak boleh melihat laki-laki dan juga
tidak boleh dilihat laki-laki, sebagaimana hadits Nabi Saw yang melarang
sebagian istri Nabi melihat Abdullah ibn Ummi Maktum. Dalam peristiwa
yang lain, Ummi Hamid; istri Abu Hamid as-Sa’di pernah menyampaikan
perasaan senang hatinya karena bisa shalat berjamaah bersama Rasulullah
Saw. Namun, ternyata Rasulullah justru menginginkannya untuk shalat di
rumah. Bahkan, semakin sempit tempat, jauh dan sunyi, maka semakin
baiklah shalat di tempat itu.
Kritik terhadap Monopoli Tafsiran Agama
Semua riwayat tersebut merupakan hadits yang tidak sama dengan hadits
yang ditulis para ulama hadits yang otoritatif, karena hadits-hadits
tersebut nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Al-Qur`an dan
as-Sunnah. Hadits-hadits semisal itu telah membelenggu kaum wanita dan
menyudutkan kedudukan mereka sebagai golongan terbelakang. Lebih dari
itu, kedudukan wanita yang demikian rendah itu akan mempengaruhi
buruknya sistem keluarga, struktur masyarakat dan prinsip
perundang-undangan.
Dalam merespon hal itu, Ibnu Huzaimah melakukan uji ulang dan kritik
atas tafsiran hadits-hadits tersebut dengan membuat bab yang menyebutkan
masalah “Shalatnya Seorang Wanita di Rumahnya Lebih Baik daripada Shalatnya di Masjid Rasulullah Saw” dan sabda Nabi Saw “Shalat di Masjidku ini Lebih Baik daripada Seribu Kali Shalat di Masjid-Masjid Lain”.
Pertanyaan yang segera muncul, adalah jika ungkapan tersebut benar,
mengapa Nabi Saw membiarkan wanita-wanita menghadiri shalat berjamaah
bersamanya sepanjang sepuluh tahun, dari fajar hingga isya’. Mengapa
mereka tidak dinasihati agar tetap tinggal di rumah-rumah mereka sebagia
ganti dari ancaman yang batil itu? Mengapa beliau mempercepat shalat
fajar dengan membaca dua surat pendek ketika mendengar tangisan anak
kecil bersama ibunya sehingga tidak mengganggu hatinya? Mengapa beliau
bersabda, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah pergi
ke masjid-masjid Allah Swt?
Mengapa pula para Khulafaur Rasyidin menetapkan barisan-barisan wanita di masjid-masjid setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Barangkali, Ibnu Huzaimah ingin menenteramkan dirinya dan hati
kawan-kawannya ketika mendustakan hadits-hadits yang melarang wanita
shalat di masjid-masjid dan menyebutnya sebagai kebatilan. Para ulama
Musthalah Hadits berkata, “Sebuah hadits dianggap ganjil (syadz)
jika kebenarannya ditentang oleh hadits yang lebih shahih. Apabila
hadits yang menentangnya tidak dipercaya, bahkan lemah, maka hadits
tersebut ditinggalkan atau bernilai munkar (tertolak)”.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak disebutkan hal-hal yang
mengarah pada larangan bagi kaum wanita untuk shalat di masjid-masjid.
Hadits-hadits tersebut semuanya ditolak. Lalu, bagaimana jika hadits
lemah berlawanan dengan Sunnah yang mutawatir dan dikenal? Hadits
tersebut harus ditinggalkan sejak awal.
Agaknya, benarlah prediksi Nabi Saw bahwa telah datang masanya ketika hadits-hadits shahih terkebur oleh egosime keagamaan yang didominasi oleh kelompok-kelompok fanatik yang tidak tahu kecuali riwayat-riwayat yang ditinggalkan dan munkar. Monopoli tafsiran agama mereka seringkali menyakitkan sesama Muslim lainnya dengan tuduhan-tuduhan bid’ah dan kesesatan beragama yang harus ditumpas habis. Jalan dakwah ini seringkali melupakan kewajiban menjaga ukhuwwah diantara ummat Islam yang seharusya menjadi prioritas setiap da’i.
Islam Membebaskan Wanita
Jika dicermati lebih dalam, Islam tidak pernah menghalangi kemajuan
kaum wanita. Sebaliknya, dari hasil kajian hadits-hadits di atas dapat
dipahami bahwa Islam memberi ruang kebebasan bagi kaum hawa dengan
batasan-batasan yang justru menjaga kehormatannya. Larangan terhadap
kaum wanita untuk pergi ke masjid bisa diterima ketika mereka berhias
secara berlebihan (tabarruj). Dan mencegah wanita dari
perbuatan tercela harus dilakukan dengan merealisasikan wasiat
Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa mereka (kaum wanita) boleh keluar
dengan mengenakan baju biasa, atau dengan penampilan sederhana, tidak
memakai wangi-wangian dan bergaya. Sedangkan mengeluarkan hukum tentang
larangan pergi ke masjid-masjid bagi wanita jelas merupakan cara yang
tidak ada kaitannya dengan Islam.
Karena itu, jika seorang wanita telah melaksanakan tugas-tugas
domestik di rumahnya, suami tidak berhak melarangnya untuk pergi ke
masjid, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Janganlah kalian melarang
hamba-hamba perempuan Allah pergi ke masjid-masjid-Nya”. Pernyataan ini
sejalan dengan kebijakan beliau yang telah menjadikan satu pintu dari
pintu-pintu masjid khusus untuk kaum wanita dan beliau menempatkan
wanita-wanita dalam jamaah pada barisan paling belakang dalam masjid.
Hal itu dimaksudkan untuk menjaga mereka ketika ruku’ dan sujud. Dan
beliau mencela laki-laki yang mendekati barisan kaum wanita dan juga
mencela wanita yang mendekati barisan kaum laki-laki.
Kebebasan seorang wanita muslim juga tidak akan terganggu karena
posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketika Islam mewajibkan suami untuk
memberi nafkah keluarganya, maka pada hakikatnya dia memberi ganti
kepada kaum wanita untuk kekosongan waktunya, untuk berkiprah demi
kebaikan rumah tangganya, membesarkan anak-anaknya dan mencurahkan
segenap perhatiannya dalam menunaikan tugas-tugas alamiahnya. “Wanita
cantik yang melupakan perhiasannya dan menyibukkan diri dengan mengasuh
anak-anaknya sehingga parasnya berubah adalah wanita yang harus
mendapat penghargaan dan kedudukan tinggi”. Ungkapan tersebut boleh jadi
benar, tetapi penerapannya sangat ditentukan oleh kondisi masing-masing
rumah tangga dan prioritas kemaslahatannya.
Yang terpenting dari itu semua, sebuah keluarga harus mempertahankan
tiga hal yang menjadi pilar kebahagiaannya yaitu ketenangan, cinta dan
sikap yang saling menyayangi. Kasih sayang bukanlah sejenis perhatian
dalam bentuk benda, tetapi merupakan sumber bagi kehangatan yang terus
mengalir, sedangkan darahnya adalah akhlak dan tingkah laku yang mulia.
Ketika rumah tangga berdiri kukuh di atas kedamaian dan ketenteraman,
cinta yang terbalas, dan kasih sayang yang hangat , maka perkawinan
menjadi anugerah yang mulia dan harta yang penuh berkah. Ia akan mampu
mengatasi berbagai rintangan dan lahirnya keturunan-keturunan yang baik.
Dan, keputusan untuk menikmati kemuliaan menjadi ibu rumah tangga
adalah langkah penting untuk mewujudkan itu semua.
Shaifurrokhman Mahfudz, Lc. M.Sh
Sekjen Andalusia Islamic Centre & Dosen STEI Tazkia Bogor
Posted By : PKS Beringin DS