Islamedia
- Lagi-lagi orang itu. Tiap jam istirahat pertama, pukul 09.30 WIB,
orang itu selalu terlihat berjalan menuju musholla sekolah, kemudian
melepas sepatunya di teras dan mengenakan bakiak lalu berjalan ke tempat
air wudhu’. Hal yang ganjil. Karena hanya dia yang melakukan aktifitas
itu sementara yang lain sibuk bermain basket di lapangan atau pergi ke
kantin.
Saya
kini berani mendekat ke arahnya, dan ingin menanyakan tentang aktifitas
anehnya itu. Sebelumnya tidak berani karena saya tak mengenalnya. Nanti
disangkanya SKSD (sok kenal sok dekat). Tapi semenjak hari ahad
kemarin, saat saya mengantarkan ibu ke acara arisan keluarga, saya mulai
mengenal orang aneh itu. Rupanya kami punya hubungan saudara.
“Oh
SMA seratus dua? Anak saya juga sekolah di sana. Tapi dia kelas dua
sekarang. Kakak kelas kamu. Hepiii.. Sini! Kenalin adik kelas kamu.”
Masih terngiang ucapan ibunya. Dan sejak itu saya tahu nama orang yang
sering saya perhatikan itu adalah Hepi. Hubungan kami? Dia adalah kakak
sepupu dari iparnya mertuanya pamannya cucunya buyutnya rekan kerjanya
om saya. Agak rumit memang.
Kini
saya berada di belakang Kak Hepi (harus memanggil kak! Dia lebih tua)
yang sedang mengambil air wudhu’. Sejenak kemudian ia selesai membasuh
kakinya, dan berbalik arah.
“Kak Hepi mau sholat?”
Ia terkejut melihat saya. “Oh kamu Ndri. Iya nih mau sholat. Mumpung istirahat”
“Emangnya shubuh masih ada jam segini?”
“Ya enggak lah. Ini gak lagi mau sholat subuh kok.”
“Terus sholat apa?”
“Dhuha.”
Saya mengernyitkan dahi.
“Pernah dengar sholat dhuha? Atau surat Adh-dhuha?” Tanyanya.
“I.. i.. iya pernah.” Jawab saya.
“Jam
segini ini disebut waktu dhuha. Dari setelah matahari terbit sampai
beberapa saat akan masuk zhuhur. Ada sholat sunnat, namanya sholat
dhuha. Pernah dengar kan? Tau kan surat Adh-Dhuha?” Ia memberi
penjelasan.
“Surat Adh-Dhuha pernah denger sih kak.”
“Hafal?”
“Nggak.”
“Kamu hafalnya surat apa aja?”
“Al-Fatihah, Qulhu, sama Wal Ashri.”
“Lho? Kamu sholatnya pake surat itu-itu aja?”
“Ya gak apa-apa lah kak. Yang penting kan hatinya bersih.” Jawab saya. Iya doong.. yang penting hatinya dooong…
****
“Udah lu tanyain, Ndri?”
Saat
masuk kelas, saya langsung ditodong pertanyaan oleh teman-teman saya
yang juga sejak lama memperhatikan kebiasaan Hepi. Tadi saat saya
mendekati Hepi dan menginterogasi kebiasaannya itu, teman-teman saya
yang punya jiwa kepo yang sama mengintip dari jendela kelas.
“Udah. Sholat sunnat Dhuha katanya. Baru denger gw. Eh.. kayaknya pernah denger sih. Tapi aneh aja lah. Gak lazim.”
“Iya kok cuma dia sendiri yang sholat. Rajin amat ya?” Timpal teman saya.
“Emang sholatnya ada berapa?” Tanya seorang yang laen.
“Hah? Maksudnya?” Saya balik bertanya.
“Kok itu dua. Emang ada yang satu, ada yang tiga?”
“DHUHAAAAA…” teman yang ini memang sering memancing kekesalan. Lucu enggak, nyebelin iya.
“Dhuha itu apa?” Tanya yang lain.
Dan sebelum saya sempat menjawab, ada penjelasan dari Feri, anak berkacamata yang kutu buku. “Ibu kota Negara Qatar.”
“Lhaa… Itu kan Doha.” Jawab saya.
“Iya.. Dhuha, Doha. Sama.” Jawabnya percaya diri.
“Tapi kata kak Hepi, Dhuha itu waktu antara setelah matahari terbit sama beberapa sebelum zhuhur deh.”
“Iya bener. Nih jawaban google. Waktu ketika matahari sepenggalan naik.”
Hendy!
Dia benar-benar IT Literate. Kemana-mana tak lepas dari gadgetnya, dari
smartphone blackberry, Iphone, hingga Karce (entah buat apa kalkulator
itu). Jawabannya telak, menumpas kesotoyan akut si Feri yang kutu buku
itu. Mana mungkin Feri mendebat google?
“Tapi kenapa cuma dia sih yang ngerjain? Kali dia aliran apaaa gitu ya. Aliran sesat kali ya?”
“Hah? Aliran sesat? Eh, dia anak Rohis ya?”
“Iya. Kata temen gw dia anak Rohis.”
“Hati-hati
bro! Kata katro tipi, Rohis itu bibit teroris. Pantesan aja kelakuannya
aneh-aneh. Yang laen gak sholat, dia malah sendirian sholat Dhuha.”
“Sholat
Dhuha itu memang ada. Ga aneh lah kalo ada orang yang Sholat Dhuha.
Malah bagus. Pada baru denger ya?” Kali ini terdengar suara Hasan, yang
sejak tadi sibuk mengerjakan PR yang belum sempat dibuatnya di rumah.
Tidak sempat bergabung dengan pembicaraan orang-orang penasaran ini.
“Baru denger, San. Beneran.”
“Coba tanya sama guru ngaji kalian deh!” Solusi dari Hasan.
“Guru ngaji? Siapa ya? Gw ga punya, San.”
“Gw juga ga punya, San. Dulu waktu masih kecil waktu ikut TPA sih punya. Sekarang enggak.”
“Penasehat spiritual maksud lu, San? Gw juga ga punya. Kalo guru balet punya.”
Orang-orang serempak memandang ke arah Feri. Pengakuan yang mengejutkan. Rupanya selain kutu buku, dia juga….
“Ya udah, ya udah, ya udah… Entar kita tanya bu Sum, guru agama.” Ujar Hasan.
*****
“Oooh
sholat dhuha. Itu memang sholat sunnat yang diajarkan oleh Rasulullah.”
Bu Sum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang di antara
muridnya, tentang sholat dhuha, setelah ia menerangkan materi pelajaran
kepada siswa di kelas. “Sholat Dhuha itu kalau dikerjakan, bisa
mendatangkan rezeki lho buat kita. Kalian harusnya rajin mengerjakan
sholat sunnat, biar diberi rezeki berupa nilai yang bagus.”
“Waktunya kapan bu?”
“Sejak setelah matahari terbit, hingga beberapa saat sebelum matahari terbenam.”
Jawabannya sama persis!! Persis dengan penjelasan Hepi.
“Jadi beneran ada ya bu? Tapi kok jarang yang ngerjain?”
“Naah
itu dia masalahnya. Sholat Dhuha itu memang ada. Banyak manfaatnya.
Tapi umat Islam sekarang ini jauh dari contoh kehidupan Rasulullah. Saat
ada yang mencoba mengikuti Rasulullah, malah dibilang aneh. Itu tadi
karena sedikit yang mengamalkan.”
“Bu
Sum juga gak pernah saya liat Sholat Dhuha di mushola.” Daaarr… Suara
seorang siswa putri. Telak seperti menampar pipi Bu Sum yang
mengangguk-angguk, grogi, terlihat berfikir, dan tak bisa berkata
apa-apa.
“Iya
bu. Kalau bu Sum rajin Sholat Dhuha, kan rezeki Bu Sum lancar. Bude
Lastri gak akan sering ibu utangin kalo Bu Sum jajan di kantin.”
Alamaaaak…
ini terlalu vulgar. Lagi-lagi si Feri. Temannya yang duduk di
sebelahnya terlihat menepuk jidat. Siswa lain yang duduk di depannya
menggeleng-gelengkan kepala. Siswa lain ada yang mulutnya menganga
dengan tatapan terperangah ke arah Feri. Betapa beraninya dia.
“Iya.
Mulai besok kita coba rutin untuk Sholat Dhuha. Untuk kelas ini, akan
ibu absen siapa saja yang Sholat Dhuha. Ada penambahan nilai.”
Aduh, saya kurang setuju. Kenapa pula ibadah harus diiming-imingi nilai. Yang penting kan hatinya.
*****
Kini
musholla sekolah saya ramai diisi orang-orang yang Sholat Dhuha tiap
jam istirahat tiba. Tidak cuma siswa dari kelas saya, tapi juga siswa
kelas lain. Terutama kelas tiga yang sebentar lagi menghadapi ujian
nasional.
Memang
awal yang meramaikan adalah kelas saya karena mencari nilai. Tapi
kemudian pembicaraan Sholat Dhuha ini terus menyebar, hingga semakin
banyak yang melakukan.
Kini
Sholat Dhuha tidak lagi menjadi misteri. Semua guru agama sudah
menjelaskan tentang keutamaan Sholat Sunnat Dhuha saat mereka mengajar.
Anak-anak mengerti. Yang merasa butuh mendekati Tuhannya, ia akan
mengerjakan sholat sunnat itu.
Andai
saja Hepi tidak berani menjadi pelopor kebaikan karena takut dianggap
aneh, atau takut dituding teroris oleh orang-orang yang termakan isu
katro tipi, mungkin pelaku Sholat Dhuha tidak akan sebanyak sekarang.
Tapi Hepi berani menjadi nomor satu yang memulai kebiasaan baik yang
harusnya ada pada setiap muslim.
Itulah
kunci bila kebaikan ingin tersebar di bumi ini. Harus ada yang berani
mempeloporinya. Harus ada yang tidak takut dibilang aneh. Seperti Hepi.
Wallahu'alam bishawab..
Posted By : PKS Beringin DS