Oleh : H. Muhammad Widus Sempo. MA
dakwatuna.com - Tulisan ini bukan jawaban dari pertanyaan sebagian kalangan yang mengatakan: “Apakah Rasulullah Saw seorang politik ulung? Apakah kota Madinah terhitung negara Islam pertama yang memiliki kedaulatan dilihat dari keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw dalam menata pemerintahan?” Ia hadir bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang demikian itu karena kejeniusan Rasulullah Saw dalam memerankan politik Negara Islam telah terbukti dan diamini kebenarannya oleh para ahli tahkik dan pemerhati politik dunia Islam. Di samping itu, kepemimpinannya tidak dapat diukur atau dibandingkan dengan kepemimpinan siapa pun dari mereka yang ditakdirkan jadi pemimpin, corak dan naskah kepemimpinan tunggal yang hanya sekali terjadi dan tidak akan pernah terulang. Yang demikian itu karena kepemimpinannya selalu terkait dengan masalah keimanan. Rasulullah Saw tidak melakukan manuver-manuver politik, jihad, perjanjian damai, kecuali dengan dasar iman yang menjadi penggerak utama perbuatannya, iman yang menjadi tema sentral dari ajaran yang diembannya. Olehnya itu, ia senantiasa dimonitoring oleh wahyu samawi dalam menjalankan kepemimpinannya.
Abbas Aqqad berkata:
“Hakikat
yang dilihat oleh mereka yang jernih menghukumi setiap masalah, muslim
atau non-muslim, sesungguhnya invasi Muhammad invasi keimanan dan
kekuatan Muhammad kekuatan iman. Tidak ada tanda yang paling mendasar
dari setiap usahanya kecuali tanda ini, dan tidak ada alasan lain dari
semua itu selain alasan ini. Dia tidak goyah dalam menanamkan
nilai-nilai keimanan yang mengesakan Allah meski godaan-godaan duniawi
datang menghampirinya, fitnah duniawi yang tidak akan pernah ditemukan
di mana pun dan kepada siapa pun kecuali Rasulullah Saw.
Beliau
didatangi Atabah bin Rabiah, pemuka kaum Quraisy, di hari-hari pertama
dakwah Islam menyinari sudut-sudut kota Mekah. Atabah dengan lembut dan
penuh kesopanan menggoda Rasulullah Saw dengan godaan-godaan duniawi
supaya ia meninggalkan tugas sucinya setelah mereka putus asa
mengintimidasinya: “Wahai putra saudaraku, Anda itu dari kami, Anda yang
paling terbaik dari kami dilihat dari nasab dan strata sosial. Tetapi,
Anda mendatangi kaum Anda sendiri dengan perkara besar yang telah
memecah jamaah mereka, bukan hanya itu, Anda pun memudarkan mimpi-mimpi
mereka, memandang hina tuhan-tuhan dan agama mereka, mengkafirkan nenek
moyang mereka. Wahai putra saudaraku, dengarkanlah aku! Saya memberikan
Anda beberapa pilihan, semoga Anda menerima salah satunya.” Rasulullah
Saw menjawab: “Katakanlah wahai Abu al-Walid!” Jawabnya: Wahai putra
saudaraku! Jika engkau menginginkan harta dari perkara (Islam) yang
engkau datangkan, kami siap mengumpulkan untukmu dari harta-harta kami
sehingga Anda yang terkaya, dan jika Anda ingin kemuliaan, kami pun siap
menobatkan Anda tuan terhadap kami sehingga kami tidak memutuskan
sebuah perkara kecuali denganmu, dan jika Anda ingin kekuasaan, kami
juga siap mengukuhkanmu sebagai raja kami, dan jika yang mendatangimu
itu pengaruh jin yang sulit ditepis, kami akan mencari obatnya dan
menafkahkan harta kami demi kesembuhanmu.” Rasulullah Saw menjawab:
“Apakah ucapan Anda selesai wahai Abu al-Walid? Jawabnya: “Ya.”
Rasulullah Saw pun membacakan kepadanya Q.S Fussilat [41]: 2-4, jawaban
kuat tidak terbantah bahwa mustahil baginya meninggalkan misi kenabian
suci ini hanya dengan fitnah duniawi yang murah.”([1])
Selanjutnya,
Anda diajak melihat hakikat lain, arti kedaulatan negara. Baik Allah
SWT atau pun hamba-Nya punya hak dari negara yang berdaulat. Umat ingin
jiwa, agama, harta, kehormatan, dan kreasi-kreasi daya pikir mereka
terlindungi. Tentunya, hak-hak tersebut mustahil tercapai tanpa
berdirinya negara yang punya kedaulatan. Di lain sisi, umat yang
negaranya tidak memiliki kedaulatan senantiasa dirongrong ketakutan dan
dihantui kemusnahan. Jika mereka takut dan musnah, wajah dunia murung
ditinggal pergi syiar-syiar agama dengan perginya hamba-hamba abid yang
musnah tidak terlindungi oleh kekuatan negara yang berdaulat. Kebutuhan
mereka terhadapnya di atas segala kebutuhan fisik, kebutuhan yang telah
menjadi hak umum setiap orang. Olehnya itu, tegaknya kedaulatan negara
kewajiban bersama demi tercapainya hak-hak Allah SWT dan umat.
Prof. Dr. Muhammad Imarah berkata:
“Bukanlah
hal berlebihan jika kita melihat negara khilafah yang kedaulatannya
dijaga oleh para sahabat dari ancaman orang-orang murtad dan
memposisikannya sebagai perangkat utama dari tegaknya syiar-syiar Islam,
tujuannya jauh lebih tinggi dari sekadar menegakkan kewajiban zakat
yang diingkari mereka yang murtad. Olehnya itu, negara -dilihat dari
sisi ini- telah berperan aktif menyebarkan Islam di luar semenanjung
Arab dengan kembali mengobarkan panji Islam memerangi kemurtadan
orang-orang Arab.
Seandainya saja negara khilafah
ini tidak ada, Islam senantiasa terancam bahaya yang setiap saat siap
menerkam. Tanpanya, Islam mungkin sebatas nama saja yang dikenang
sejarah, seperti agama-agama lain, atau sekadar agama yang dianut
sebagian kecil umat manusia. Sesungguhnya negara ini telah menjadi alat
bantu utama dalam mewujudkan janji Allah menjaga Al-Quran dari
tangan-tangan kotor yang ingin mencoreng kesuciannya sebagai kitab suci
umat Islam seperti yang difirmankan Q.S. Al-Hijr [15]: 9:
)إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ(.”([2])
Hakikat
lain yang sepatutnya Anda ketahui juga sebelum Anda diajak mengenal
sebagian dari keberhasilan politik Rasulullah Saw, hakikat Sunnah yang
telah menjadi pegangan utama politik Islam. Hakikat yang mengajak Anda
untuk peka mengkategorikan segala perilaku Rasulullah Saw dan
menempatkannya di icon yang tepat dan benar. Apakah Nabi saw berperilaku sebagai seorang rasul yang bertugas menyampaikan wahyu, atau selaku mufti (pemberi fatwa),
atau sebagai hakim yang menyelesaikan apa yang dipersengketakan
manusia, atau ia diposisikan sebagai pemimpin negara yang sedang
menangani urusan-urusan politik?
Salah melihat denah
Sunnah hijab tersendiri terhadap makna-makna yang mungkin saja dapat
teraba dan terbaca jika seandainya ia terlihat dengan kaca mata
pendekatan yang benar. Namun, tidak berarti bahwa jika Anda mengabaikan
ini Anda tidak punya kesempatan memahami dan menuai petunjuk hidup
Sunnah. Yang demikian itu karena dari sudut mana pun Anda melihatnya,
Anda akan mendapatkan percikan cahaya kesuciannya, seperti Al-Quran yang
makna-maknanya senantiasa mengalir tidak henti-hentinya mengisi
kekosongan jiwa dan menyejukkan kalbu para pemerhati dan perindunya
sesuai tingkat kesiapan masing-masing. Dari sudut pandang apa pun Anda
mendekatinya, Anda tidak akan dibiarkan pulang dengan tangan kosong,
jika bukan mutiara makna-maknanya, maka keagungan dan kebersahajaan
ayat-ayatnya sebagai kalam ilahi yang terjaga sepanjang zaman dari
kejahilan mereka yang tidak bertanggung jawab. Seperti Al-Quran punya
kunci-kunci ma’nawi dalam memeras sari pati maknanya, Sunnah pun seperti
itu, dan apa yang dikenalkan kepada Anda di atas terhitung salah satu
kunci utama dalam memberikan pendekatan makna. Inilah yang diyakini
penulis kebenarannya.
Olehnya itu, kadang kita menjumpai sahabat menanyakan Rasulullah Saw dari sebagian perilakunya: “Apakah ini wahyu samawi yang tidak mengenal tawar-menawar, ataukah ini ijtihad Anda wahai Rasulullah Saw?”
Seperti yang dilontarkan Hubab bin al-Mundzir yang menyarankan
Rasulullah Saw menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit
Badr. ([3])
Pendekatan
seperti ini dapat dijumpai di tulisan para ulama, di antaranya Imam
Qarafi (w 684 H/1285 M). Di sini beliau melihat bahwa kelompok pertama
dan kedua –perilaku Nabi Saw dalam keadaan ia diposisikan selaku rasul (penyampai wahyu) dan mufti (pemberi fatwa)-,
keduanya bagian dari agama yang disyariatkan. Sementara itu, kelompok
ketiga dan keempat –perilakunya dalam keadaan ia ditempatkan sebagai
hakim dan imam (pemimpin negara), keduanya bukanlah bagian
mendasar agama yang absolut pelaksanaannya, seperti shalat dan puasa.
Tetapi, keduanya merupakan ijtihad yang memperhatikan objek ijtihad yang
kondisional, yang tidak lepas dari pengaruh waktu dan situasi yang
senantiasa berubah. Di sini, Rasulullah Saw sebagai Imam (pemimpin negara)
punya peran yang cukup luas, berperan sebagai hakim dan mufti. Olehnya
itu, ia berhak melakukan sesuatu dengan mengatasnamakan dirinya hakim
dan imam, seperti: menata strategi perang dan menyiapkan bala tentara,
membagi hasil perang (ganimah), menyepakati dan menandatangani
perjanjian damai, mengatur keuangan negara, menata perangkat-perangkat
negara dengan memberi jabatan tertentu kepada yang layak menyandangnya
dari sebagian sahabat, seperti: panglima perang, wali (gubernur di bahasa penulis), hakim, dan buruh kerja.([4])
Setelah
imam Qarafi, Anda dapat menjumpai Waliyullah ad-Dahlawi yang
pernyataannya tidak jauh beda dengan di atas. Dia menulis bagan Sunnah
dan memecahkannya ke dalam dua anak panah:
Anak panah
pertama: Apa yang datang dari wahyu yang wajib disampaikan Rasulullah
Saw. Di bagian ini termasuk ilmu-ilmu akhirat, keajaiban-keajaiban alam
gaib, tata cara pelaksanaan ibadah dan hukum-hukumnya. Sebagian
ilmu-ilmu ini datang dari wahyu dan sebagian lainnya datang dari
pemahaman Rasulullah Saw terhadap tujuan-tujuan penetapan syariat (Maqashid Syariah) yang diposisikan juga bagian dari wahyu.
Ini telah digarisbawahi Q.S. Al-Hasyr [59]: 7
قَالَ
تَعَالَى: )وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(.
Anak
panah kedua: Apa yang di luar dari kategori wahyu yang wajib
disampaikan, seperti pendapat dan ijtihad Rasulullah Saw di masalah
tertentu yang telah digarisbawahi sabdanya berikut ini:
عَنْ
أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ e أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ e سَمِعَ
جَلَبَةَ خَصْمٍ بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ:
(إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّهُ يَأْتِينِى الْخَصْمُ، فَلَعَلَّ
بَعْضَهُمْ أَنْ يَكُونَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَادِقٌ
فَأَقْضِى لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِىَ
قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ يَذَرْهَا). ([5])
Dan
sabdanya di kisah pohon kurma yang pengawinan dan pembuahannya
sepenuhnya dikembalikan kepada alam dan hukumnya tanpa ada campur tangan
manusia:
حَدَّثَنِى رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ قَالَ: قَدِمَ
نَبِىُّ اللَّهِ e الْمَدِينَةَ، وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ، يَقُولُونَ
يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ، فَقَالَ: «مَا تَصْنَعُونَ». قَالُوا: كُنَّا
نَصْنَعُهُ، قَالَ: «لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا».
فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ،([6])
قَالَ: فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:«إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، إِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ
بِشَىْءٍ مِنْ رَأْىٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ».([7])
Yang termasuk juga dalam kategori bidikan anak panah kedua ini
ilmu-ilmu dunia, seperti: kedokteran, pertanian, kerajinan tangan, dan
semua yang bertumpu pada keahlian dan percobaan, serta segala hal yang
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan politik pemimpin negara di
peperangan dan pembagian hasil perang (ganimah), demikian pula dengan masalah-masalah pengadilan. ([8])
Di samping itu, ada hakikat lain yang tidak kalah pentingnya dengan apa
yang telah mengorek perhatian Anda, sekularisme yang menguliti agama
dari perannya, mengenyampingkan ajaran-ajaran agama dalam menahkodai
kehidupan duniawi, sekularisme yang memetakan peran agama dan membatasi
gerak langkah dan jangkauannya. Agama yang diinginkan mereka agama yang
hanya mementingkan kehidupan ukhrawi semata, agama yang hanya
diperdengarkan di tempat-tempat ibadah saja, yang mereka inginkan apa
yang digemakan dengan begitu kuatnya oleh para pengikut sejati mereka: “Bagi kaisar urusan duniawi, dan bagi gereja urusan ukhrawi, jangan pernah mencampuradukkan kedua tatanan kehidupan ini!”
Mereka terpukul oleh apa yang menghantui mereka dari penindasan gereja
yang mengatasnamakan agama di zaman kegelapan. Mereka seperti baru saja
tersadar dari mimpi buruk pengadilan-pengadilan gereja yang tidak
mengenal belas kasih bagi mereka yang menyalahi keyakinan dan kehendak
gereja yang memberikan dirinya hak mutlak menilai, menentukan, dan
menjatuhkan hukum kepada siapa saja yang dianggapnya menentang ajaran
gereja. Zaman pengekangan yang membelenggu daya kreasi pikir yang tidak
berdaya melahirkan teori-teori ilmiah dan filsafat yang dapat
mendongkrak kemajuan peradaban Eropa.
Yang
terimbas dari aliran pemikiran yang sakit dan menyakitkan seperti di
atas, matanya seperti dimasuki debu yang menghalanginya melihat dengan
begitu jelas keberhasilan Rasulullah Saw sebagai kepala negara dalam
menahkodai tata negara Islam di Madinah.
Yang menjadi pertanyaan: “Apa yang menyebabkan peradaban Barat maju di
era sekularisme yang begitu kuatnya menancapkan gigi-gigi taringnya di
seluruh sendi kehidupan mereka? Apakah umat Islam sepatutnya
menanggalkan pakaian agama mereka dalam kehidupan dunia seperti umat
Eropa dan Amerika yang meraih kemajuan duniawi yang jauh dari campur
tangan agama?
Tentu tidak, yang diyakini bersama,
kejayaan umat Islam dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadits.
Semakin jauh kita melangkahkan kaki dari kedua sumber hidup ini, semakin
jauh kita tertinggal di gerbong paling belakang kereta peradaban.
Sementara itu, kemajuan umat-umat Barat dengan mengamini apa yang
diejakan sekularisme mereka. Semakin kuat pegangan mereka terhadapnya,
semakin dekat bagi mereka keberhasilan dan kejayaan duniawi. Tetapi,
mereka lupa bahwa pohon kejayaan mereka itu rapuh, tidak kuat menghadapi
badai, buahnya yang indah tidak mampu memenuhi kekosongan jiwa mereka
yang rindu kepada ketenangan jiwa, ketenangan yang hanya ditemukan bagi
mereka yang mempercayai kehidupan ukhrawi yang dituturkan agama. Di
samping itu, kitab suci mereka yang telah disentuh perubahan dan
pemalsuan tangan-tangan jahil mereka sendiri tidak layak lagi menjadi
pegangan hidup dalam tingkatan dunia-akhirat, sehingga dengan sendirinya
mereka mencari penopang dan sandaran kehidupan duniawi lain, dan mereka
pun menemukannya di jabaran-jabaran sekularisme.
Olehnya
itu, sekularisme bagi mereka obat penawar ampuh dari pahitnya zaman
kegelapan Eropa yang menayangkan kegelapan dan kemunduran dari pelbagai
aspek kehidupan. Sementara itu, sekularisme bagi kita, umat Islam, racun
mematikan yang ingin melucuti pribadi Islam kita dari ajaran-ajaran
agama, sehingga kita dengan mudahnya menafikan agama dari sendi-sendi
kehidupan.
Jadi, apa lagi yang menyebabkan kita
mengimpor produk asing ini, mengadopsi, dan menelannya mentah-mentah,
kecuali taklid bodoh yang membabi buta meniru produk-produk mereka yang
jauh dari nilai-nilai agama. Apa yang menyebabkan kita alergi dari
segala yang islami dan lebih tamak kepada apa yang kebarat-baratan,
kecuali gengsi dan angkuh atas nama modernitas yang diberkahi
sekularisme dan westernisasi.
Bukankah sekularisme
dengan segala corak, filsafat, dan kerusakannya yang berusaha keras
menjauhkan agama dari negara dan mendesain kehidupan dengan desain hawa
nafsu, undang-undang buatan manusia, dan kesalahan-kesalahan mereka,
bukankah paham seperti ini menyalahi syariat?
Jika
mereka ingin melihat Islam hanya sebatas agama tanpa penghayatan dan
penerapan hidup, bukankah keinginan seperti ini menyalahi tujuan
kedatangan Islam, kedatangannya yang ingin mengibarkan panji syariat di
muka bumi?
Yah, Islam itu bukanlah seperti teori arsitek
atau cara kerja mesin yang tidak menuntut apa-apa dari seseorang
kecuali meyakini dan menyebutkan dalil-dalil kebenarannya, ia pun bukan
seperti filsafat akal yang dengan membacanya seseorang akan terhibur,
atau ia hanya dipegang dan dibaca oleh para pemerhatinya jika timbul
dalam diri mereka keinginan yang mendorong mereka untuk membaca dan
mengamati. Islam bukan seperti ini dan itu, tetapi Islam metode hidup
yang meliputi seluruh bentuk pembelajaran, baik rohani, praktek, atau
yang bersifat ilmiah, ia pun menyuguhkan kaidah-kaidah yang jelas dalam
mencapai kemaslahatan umum yang erat kaitannya dengan masalah-masalah
pribadi, lingkungan, negara, dan umat.
Itulah Islam yang
ingin dipudarkan bahkan ditutup cahayanya oleh mereka, tetapi,
bagaimana mungkin mereka melakukannya, Islam metode kehidupan sempurna
dunia-akhirat yang diridhai Allah, pemilik matahari kehidupan. ([9])
Kini,
penulis yakin bahwa Anda dengan penuh percaya diri mengamini apa yang
telah dikatakan oleh kebanyakan para ahli tahkik dan pemerhati sejarah
politik Islam bahwa Rasulullah Saw pemimpin negara Islam pertama di
Madinah yang menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya demi menjaga
kedaulatan Islam dari rongrongan kafir Mekah dan Yahudi di Madinah.
Sekarang, Anda diajak berikutnya melihat beberapa bentuk keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw yang di antaranya:
Pertama: Kemampuannya menyatukan kaum Aus dan Khasraj
Yang diketahui bersama, Rasulullah Saw tidak hijrah ke Madinah sebelum kota ini layak menerima kedatangannya.
Yang
diketahui juga, kota Madinah, sebelum Rasulullah Saw hijrah ke sana,
kota yang penuh hiruk-pikuk perselisihan kaum Aus dan Khazraj yang
dipicu oleh fitnah-fitnah busuk orang-orang Yahudi. ([10])
Api kebencian di antara mereka senantiasa berkobar dan mustahil
dipadamkan meski menghabiskan yang kecil dan besar, yang hina dan mulia
dari perbendaharaan alam. Kebencian ini mewariskan dendam membara di
hati mereka yang memicu terjadinya perang Buats yang kekal dikenang
sejarah. Kenyataan ini telah diukir abadi Q.S. Al-Anfal [8]: 63, namun,
dengan kehendak Allah SWT Rasulullah Saw berhasil memadamkan kobaran api
kebencian itu dengan persaudaraan Islam yang menyejukkan hati mereka.
Apa yang Rasulullah Saw lakukan sehingga ia berhasil mendamaikan mereka?
Seperti
adat kaum Arab di musim ibadah, mereka berbondong-bondong menuju kota
Mekah untuk beribadah di Ka’bah. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu
saja Rasulullah Saw, tetapi ia memanfaatkannya dengan mendatangi mereka
memaparkan dirinya dan agama yang ia emban. Di tahun itu, secercah
harapan terbit dari kejauhan sana. Rasulullah Saw mendatangi kaum
Khazraj pada bulan Rajab –seperti yang disepakati kebanyakan ahli
sejarah- mengajak mereka masuk Islam setelah memaparkan kebenaran dan
keindahannya.
Mereka pun dengan antusias mendengarkan
dakwah Rasulullah Saw tersebut, mengingat masalah besar yang mereka
tinggalkan di Madinah, perpecahan yang disebabkan oleh orang-orang
Yahudi di antara mereka, Aus dan Khasraj. Di lain sisi, mereka pun
menakuti ancaman orang-orang Yahudi yang selalu mengintimidasi mereka
dengan kedatangan seorang Rasul yang akan memimpin orang-orang Yahudi
membasmi mereka.
Kedua faktor ini sebab utama yang menarik perhatian mereka mendengarkan apa yang disampaikan Rasulullah Saw.
Mereka
pun sejenak termenung merenungkan perihal buruk mereka di kota Madinah
dan sifat-sifat kenabian Rasulullah Saw seperti yang diberitakan oleh
ahli kitab orang-orang Yahudi, dan tidak lama kemudian setelah mereka
bermusyawarah, mereka dengan tekad bulat yang didasari mufakat
mengumumkan keislaman mereka. ([11])
Rasulullah
Saw melakukan hal serupa terhadap kaum Aus. Namun, sejarah mencatat
bahwa kaum Khazraj lebih cepat menerima dan mempercayai kebenaran
kenabian dan kerasulannya dari kaum Aus. Mereka inilah yang menyebarkan
Islam secara diam-diam di rumah-rumah mereka, jauh dari pengetahuan
orang-orang Yahudi, sehingga kota Madinah sudah layak menjadi kota
hijrah Rasulullah Saw.([12])
Setibanya
di Madinah, yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw sebagai kepala
negara membangun masjid, rumah Allah yang tidak mengenal kata perbedaan
di antara manusia, tempat ibadah yang kondusif menangani masalah-masalah
kenegaraan yang membutuhkan keteduhan dan kejernihan berpikir. Di sini
masjid Rasulullah Saw memainkan peranan tersebut dengan baiknya.
Kemudian,
Rasulullah Saw sebagai pemimpin negara mengajak orang-orang Yahudi
menyepakati sebuah perjanjian suci, perjanjian yang mewajibkan mereka
untuk hidup damai berdampingan dengan orang-orang mukmin, Muhajirin dan
Anshar, dan mempertahankan kedaulatan negara Madinah dari rongrongan
orang-orang kafir yang sewaktu-waktu dapat mengancam stabilitas negara.
Tetapi, Yahudi Madinah melanggar perjanjian tersebut dan tidak
menepatinya, bahkan bersekutu dengan kafir Mekah mengepung bala tentara
Islam yang dipimpin langsung Rasulullah Saw di perang Khandaq. Olehnya
itu, wajar jika mereka diusir Rasulullah Saw dari kota Madinah karena
telah melanggar piagam suci perdamaian tersebut.
Keberhasilan
yang cemerlang ini bukti nyata kepiawaian Rasulullah Saw dan ketajaman
analisa politiknya dalam menangani masalah-masalah kenegaraan yang
menuntut ketepatan dan ketangkasan khusus.
Kedua: Perjanjian Hudaibiyyah
Di
perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah Saw beserta 1.300 muslim keluar
menuju kota Mekah dengan maksud ziarah, dan bukan menginginkan perang.
Setelah berita ini didengar orang-orang musyrik, mereka pun menghalang
orang-orang mukmin di Hudaibiyyah sebelum memasuki kota Mekah. Situasi
ini menyebabkan ketegangan urat saraf di antara kedua belah pihak yang
berujung perjanjian damai yang bersyarat. Mereka mensyaratkan
orang-orang Islam mengurungkan niat menziarahi kota Mekah tahun ini, dan
dibolehkan mengunjunginya tahun depan. Di samping itu, mereka pun
menambahkan syarat yang tidak kalah kerasnya dengan di atas, mereka
meminta pihak Islam mengembalikan siapa pun dari mereka yang ditemukan
mendatangi Madinah dalam keadaan beriman atau tidak, dan mereka tidak
diwajibkan memulangkan seseorang dari pihak muslim jika ditemukan
mendatangi kota Mekah.
Syarat yang secara lahiriah telah
mencoreng kehormatan mereka dan kedaulatan negara Islam, syarat yang
sulit diterima oleh sebagian sahabat. Yang demikian itu karena yang
mereka yakini kemampuan mereka meraih kemenangan jika terjadi peperangan
dengan kafir Mekah. Mereka tidak peka melihat apa yang mendasari
Rasulullah Saw menerima perjanjian tersebut, pandangan singkat mereka
tidak mampu melihat sudut pandang Rasulullah Saw yang jauh meneropong
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.
Dengan
perjanjian ini kota Mekah dan Madinah diselimuti sejuknya kedamaian dan
perasaan aman, terbentang benang pertemuan dan perjumpaan antara kedua
belah pihak, sehingga orang-orang Islam dengan leluasa memperdengarkan
mereka Al-Quran dan melakukan debat tentang kebenaran ajaran Islam.
Kejadian-kejadian seperti ini tidak pernah dijumpai sebelum terjadinya
perjanjian damai di Hudaibiyyah. Olehnya itu, banyak dari mereka yang
memeluk Islam. ([13])
Kenyataan
ini seperti arus deras yang terpancar kuat menerpa dan mengangkat
keraguan sebagian dari mereka yang enggan menerima kecemerlangan
Rasulullah Saw dalam menjalankan politik negara.
Di
penghujung tulisan ini saya mengajak pemerhati Sunnah Rasulullah Saw dan
tatanan politik Islam menyuarakan kesimpulan berikut ini:
“Peka
terhadap pemetaan Sunnah Rasulullah Saw langkah pertama dan yang
terpenting dalam memeras kekayaan khazanah makna-makna kenabian dan
kerasulan, buta terhadap pemetaan ini boleh jadi menjadi hijab
tersendiri terhadap khazanah tersebut. Keberhasilan manuver-manuver
politik Rasulullah Saw dalam menjaga stabilitas negara Islam pertama di
Madinah tidak dapat dipungkiri lagi. Yang mengingkarinya seperti menutup
cahaya matahari dari muka bumi dengan kedua telapak tangannya. Islam
tidak dapat dipisahkan dari tatanan hukum negara. Yang menanggalkannya
dari organ-organ tubuh negara seperti menggali kuburan sendiri, mereka
yang menginginkan kebebasan yang didasari nafsu hewani dan dekadensi
moral yang meruntuhkan. Kenakakan gaun Islam Anda dan lambaikan tangan
perpisahan meninggalkan corak-corak sekularisme yang mengaburkan dan
membutakan pandangan hidup Anda! Sekarang, negara Islam yang berdaulat
perangkat utama dalam menegakkan ajaran dan hikmah syariat.”
([1]) Abbas al-Aqqad, al-Abqariyyât al-Islâmiah: Abqariyyah Muhammad, Darul Kitab al-Lubnani, Beirut, cet. 1984, vol. 1, hlm. 160-161
([2]) Prof. Dr. Muhammad Imarah, Muhammad Saw ar-Rasul as-Siyâsi, Dar as-Salam, Cairo, cet. 1, 1433 H/2012 M, hlm. 35
([3]) Seperti yang telah dijelaskan di tulisan kami “Keistimewaan Ijtihad Rasulullah Saw” yang dimuat di: http://www.dakwatuna.com/2013/01/26389/keistimewaan-ijtihad-rasulullah-saw-1/
([4]) Lihat: Al-Qarafi, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris, al-Ihkâm fi Tamyiz al-Fatâwa anil Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdi wal Imâm, manuskrip perpustakaan Azhar, no. registrasi khusus: 801, no. registrasi umum: 12601, hlm. 4
([5]) Hadits riwayat Ummu Salamah R.A di Shahih Imam Muslim, kitab al-Aqdiyyah, bab al-Hukmi bi ad-Dzhahir wa al-Lahni bil Hujjah, hadits. no: 4570, hlm. 909
([6]) Di
sini Rasulullah Saw lebih cenderung membiarkan pengawinan dan pembuahan
pohon kurma kepada hukum alam tanpa campur tangan manusia seperti
biasanya. Namun, karena ijtihad ini menyalahi kenyataan yang ada, buah
kurma yang dihasilkan buruk, dan tidak mendatangkan kemaslahatan umum,
Rasulullah Saw pun menarik perkataannya dan mensyariatkan mereka hukum
umum, yaitu: “Jika Aku memerintahkan kalian dari agama ini untuk
dikerjakan maka patuhilah! Dan jika Aku menyerukan suatu perkara dari
pendapatku sendiri maka saya manusia seperti kalian, tidak luput dari
kekeliruan pendapat.”
([7]) Hadits riwayat Râfi’ bin Khadij R.A di Shahih Imam Muslim, kitab al-Fadhail, bab Wujub Imtitsal Ma Qalahu Syar’an duna Ma Dsakarahu min Maâyish ad-Dunya, hadits. no: 6275, hlm. 1234
([8]) Lihat: Waliyullah bin Abdurrahîm ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Bâligah, ditahkik oleh Sayyid Sâbiq, Darul Jail, Beirut, cet. 1, 1426 H/2005 M, vol. 1, hlm. 223-224
([9]) Lihat: Dr. Muhammad Rasyâd Abdul Azîz Dahmash, Atsar al-Fikri al-Almâni fi al-Mujtama’ al-Islâmi, (nama penerbit dan tahun cetak tidak disebutkan), hlm. 119
([10]) di antara Kabilah-kabilah Yahudi yang masyhur di Madinah:
- Banu Qaenaqâ’, mereka sekutu kaum Khazraj, mereka bertempat tinggal di dalam kota Madinah.
- Banu an-Nadhîr, mereka sekutu kaum Khazraj, tempat tinggal mereka di sudut-sudut kota Madinah.
- Banu Quraedsah, mereka sekutu kaum Aus, rumah-rumah mereka di sudut-sudut kota Madinah.
Mereka
inilah yang menciptakan peperangan antara Aus dan Khasraj dalam kurun
waktu yang cukup lama, seperti perang Buats. Lihat: Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 140
([11]) Jumlah mereka 6 orang:
As’ad bin Zurârah Abu Umâmah dari Bani an-Najjâr, Awf bin al-Hârits bin
Rifâa, Râfi’ bin Mâlik bin al-Ajalân dari Bani Zuraeq, Qutbah bin Âmir
dari Bani Salamah, Uqbah bin Âmir dari bani Harâm, dan Jâbir bin
Abdillah dari Bani Ubaed.
([12]) Lihat: Prof. Dr. Thaha Habisyi, Qissah an-Nabi maal Yahud fi Jazirah al-Arab, hlm. 35.
([13]) Lihat: Syekh Muhammad al-Khidr Husain, Muhammad Rasulullah wa Khatam an-Nabiyyin, Maktabah al-Iman, Cairo, cet. 1, 1432 H/2011 M, hlm. 65