Iedul Fithri adalah program Allah yang didahului dengan tajdidul
fithrah. Pada dasarnya semua Ansyitah Ramadhan mendorong kita kembali
kepada fitrah.
Bila orang gembira karena meninggalkan puasa Ramadhan maka kita
gembira karena ada perubahan fitrah dan mampu memperbaharui fitrah kita.
Sebab kita hanya akan mampu menempuh kehidupan apabila kita memiliki
fitrah yang utuh. Artinya kita memiliki keutuhan mesin penggerak
kehidupan itu sendiri sebab hidup dengan Islam berarti hidup dengan
fitrah.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum, 30: 30)
Sementara itu, Iedul Adha merupakan program Allah yang orientasinya
adalah tajdid ruhul bazl wa tadhhiyah (semangat memberi dan berkorban).
Bila orang bergembira karena memperoleh daging kurban maka kita hanya
dapat bergembira apabila kita memperoleh sikap ruhul bazl wa tadhhiyah.
Semangat fitrah tanpa ruhul badzl wa tadhhiyah bagaikan mesin tanpa
bahan bakar. Mesin Islam hanya dapat melaju dengan kesiapan memberi dan
berkorban di jalan Allah.
Cara mempertahankan kefitrahan kita adalah dengan melanjutkan sunnah
dan tradisi Ramadhan meskipun intensitasnya tidak sama tetapi harus
berkelanjutan. Ini merupakan ma'alim ta'abudiyah. Hal ini meliputi :
Pertama, perhatikan ansyithah fikriyah (Aktivitas Pemikiran).
Membangun dan memelihara keutuhan fitrah sama artinya dengan
merealisasikan daurul fitri fil ibadah yaitu tadzakur dan tafakur yang
senantiasa memerlukan dua ma'alim utama, (1) Ma'alim ta'abudiyah
(rambu-rambu ibadah) yang intinya ashalah dzikriyah (orisinalitas
zikir), yang merupakan upaya lit ta'shil (orisinalisasi), (2) Ma'alim
kauniyah (rambu-rambu alam semesta) yang intinya adalah ashalah fikriyah
(orisinalitas pemahaman) merupakan upaya lit tathwir (pengembangan).
Ashalah Insaniyah (orisinalitas kemanusiaan), ashalah Islamiyah
(orisinalitas Islam), da'wiyah, jamaiyah dibangun oleh ansyithah
fikriyah. Kita tidak cukup berorientasi pada ashalah aqidah, fikrah dan
minhajiah. Sebab bila ketiganya berlangsung tanpa pengembangan akan
berbahaya. Kita akan terjebak pada kejumudan yang membawa malal
(kebosanan) dan futur.
Seorang muslim bisa jadi beraqidah shahihah tetapi ketinggalan kereta
peradaban. Atau berminhaj jelas dan benar tetapi tidak mampu berkembang
karena dha'ful wasail amaliyah (lemah sarana amal). Melalui ansyithah
amaliah lit tathwir (aktivitas amal untuk pengembangan) diharapkan kita
mampu rukubul hadharah (mengendarai peradaban). Karena seorang muslim
dituntut memberi dan berkorban secara maksimal dalam roda perjalanan
sejarah yang terus menerus berkembang.
Dalam da’wah senantiasa diperlukan dua unsur : aslih nafsaka wad'uu
ghairok (perbaiki dirimu, serulah orang lain). Seorang muslim dituntut
menjadi shalihun wa muslihun (baik dan melakukan perbaikan), shalihun
linafsihi wa muslihun li ghairihi—memperbaiki diri dan orang lain.
Sebagaimana firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.” (QS. Al-Hajj, 22: 77)
Disini disebutkan bahwa kemenangan ditentukan dua unsur: irka'uu
wasjuduu wa'buduu (yaitu ruku, sujud, dan menyembah) yang merupakan
ansyithah dzikriyah lit ta'shil (kegiatan zikir untuk menjaga
orisinalitas) dan waf'alul khaira (berbuat kebajikan) yang merupakan
ansyithah fikriyah lit tathwir (kegiatan pemikiran untuk pengembangan).
Daurul fitri melalui visi dan misi ibadah serta fungsi khilafah
dengan ma'alim ta'abudiyah dan ma'alim kauniyahnya Insya Allah akan
membuat kita mampu mengikuti dinamika sejarah, isu kemanusiaan, tren
peradaban, perkembangan politik dan sebagainya.
Kedua, perhatikan tathwir 'amal jam'iy wat tanzhimiy (Pengembangan
'Amal Jama'i dan Struktur). Dengan personal/kader inti yang memiliki
Al-Fahmus syamil wal iltizamul kamil da’wah yang berkonsepsi syumuliyah
mutakamilah akan senantiasa berkembang pesat dari waktu ke waktu. Sebab
setiap unsur ke-syumuliyah-an dan ke-takamuliyah-an harus terpadu
mengikuti kebutuhan umat dan hadharah insaniyah (peradaban manusia) di
tengah realitas dunia yang berkembang.
Maka jika pada mulanya kita bergumul dengan ansyithah tajnidiyah
(kegiatan kaderisasi), secara pasti kita akan melangkah dan berkembang
lebih luas. Dahulu kita berhubungan dengan zawil kafaat tajnidiyah
dengan ansyithah di sekitar itu, tetapi kemudian kita berhadapan dengan
pengembangan ansyithah karena ingin mewujudkan kesyumuliyahan dan
ketakamuliyahan da’wah.
Dalam suasana ini, adalah keliru bila kita mengartikan tajarrud
sebagai meninggalkan ansyithah syumuliyah demi terwujudnya tajnidiyah.
Tajarrud bukan meninggalkan semua tetapi justru membawa semua secara
tawazun. Masalahnya kita harus pandai menentukan prioritas amal jama'iy.
Problematika kita adalah bagaimana kita mengatur waktu; menentukan yang
dharuriy, hajiyaat dan tahsinaat; kemudian melaksanakan kewajiban kita
secara ihsan. Inallaha katabal ihsan 'ala kulli syaiy'i.
Perhatian kita sebagai afrad jama'ah hendaknya pada seluruh elemen
kehidupan manusia. Dengan sendirinya potensi dan aktifitas akan terbagi
namun bila kesemuanya dibingkai dengan wihdatul aqidah, wihdatul fikrah
dan wihdatul minhaj yang kita miliki akan meraih keberkahan dan rahmat
Allah Ta’ala. Selain itu, semua aktifitas hendaknya terpadu erat, bukan
langkah infiradi (perseorangan) yang nyelonong. Harus terikat dengan
barnamij dan harus ter-takhtith (rencana) dengan baik.
Jamaah memiliki tingkat ekspansi yang tinggi, sedangkan manusia telah
digariskan tabiatnya untuk da’wah ini. Selama kita (afrad jamaah)
memiliki mawazin dan memiliki qiyam fitriyah Insya Allah perkembangan
jamaah pun akan sehat. Untuk peningkatan ekspansi baramij tarbawiyah
(program tarbiyah) aktifitas jamaah sifatnya hanya stimulans, hanya
menjadi pemicu dan pemacu. bukan satu-satunya baramij yang harus
direalisasikan. Diperlukan usaha yang besar dalam tarbiyah dzatiyah..
Untuk merealisasikan tausi'ah wa tarqiyah (perluasan demografis dan
peningkatan SDM) senantiasa diperlukan ubudiyah wa 'ulumiyah atau dengan
kata lain da’wah wat tarbiyah.
Karena itu kita memerlukan junud (laskar) yang siap memikul beban
da’wah, bukan malah menjadi beban. Sebab jama'ah kita bukan sekolah
kendati suasana tarbiyah-mentarbiyah dihidupkan di segala sisi untuk
mewujudkan syumuliyah dan takamuliyah perkembangan da’wah. Juga bukan
rumah sakit tetapi kumpulan orang-orang sehat yang saling bersinergi
memberi dan berkorban, saling membantu, senasib sepenanggungan.
Marilah kita tingkatkan aktifitas jamaah ini dengan meningkatkan
sifat kekaderannya di berbagai bidang sehingga terwujud junud da’wah
sejati. Sebab hanya kader yang mampu memikul beban yang dapat saling
bekerja sama secara harmonis.
Standar tarbiyah yang ada dalam baramij juga hendaknya mengantisipasi
masalah ini. Jangan terpaku pada baramij rismiyah, karena apa artinya
bila kita mabit tetapi tidak mampu melakukan ekspansi da’wah. Atau sibuk
mengurus tanzhim tetapi tak mampu mengurus daulah. Karena itu dalam
mutaba'ah hendaknya jangan kaku dengan aturan menyangkut kehadiran di
liqa’ padahal seorang akh mempunyai nasyath tanzhimiyah (aktivitas
struktural) yang lebih dharuriy. Ini hendaknya menjadi perhatian bagi
para Pembina.
Ketiga, perhatikan tathwir 'ilmi wats tsaqafi wal hadhari
(pengembangan ilmu, wawasan dan peradaban). Memperhatikan pengembangan
ilmu, tsaqafah dan peradaban ini sangat penting untuk meningkatkan
penguasaan kita terhadap wasail (sarana) dan asalib hadhariyah fid
da’wah. Juga menangkal segala jarasim fikriyah (virus pemikiran) yang
akan merusak da’wah yang datang dari berbagai arah, serta mewujudkan
suatu alternatif (badil) bagi peningkatan wawasan umat Islam.
Afrad jamaah hendaknya mampu mengantisipasi masa depan dengan
memahami perkembangan tren ilmu dan teknologi, tren ekonomi, politik dan
budaya, bahkan hendaknya kita mampu melangkah dengan menjadikannya
sebagai sarana da’wah. Karena itu, belajar dan tingkatkan wawasan.
Seraplah informasi dunia khususnya yang terkait dengan tathwir 'ilmi was
siyasi ini sehingga kita mampu memahamkan masyarakat melalui
unsur-unsur hadhari ini.
Keempat, perhatikan tathwir ijtima'iy wal iqtishady (pengembangan
sosial dan ekonomi). Masalah sosial dan interaksinya dengan perkembangan
hadharah selalu berubah dan berkembang terus menerus. Kuasailah
suasananya tanpa meninggalkan prinsip dan kepribadian kita. Kita bergaul
dengan masyarakat dengan dua acuan: ansyithah ijtimaiyah dakhiliyah
(aktivitas kemasyarakatan internal) dan ansyithah ijtimaiyah kharijiyah
(aktivitas kemasyarakatan eksternal). Jadi jangan menjadi orang yang
aneh di tengah kaum muslimin sendiri.
Dalam ansyithah dakhiliyah seluruh stelsel dan elemen tanzhim
tersentuh dan tercover dengan ta'awun iqtishadiy dan takaful ijtima'iy.
Jangan sampai ada yang mengeluh dalam masalah ekonomi, berta'awunlah.
Sedangkan untuk nasyath kharijiyah kita bertanggungjawab pula
mensejahterakan umat. Kita lebih wajib merealisasikan surat Al-Ma'uun
yang mengharuskan kita menyeimbangkan ibadah dan fungsi sosial di tengah
umat. Prinsip kita: nahnu minhum, nahnu ma'ahum wa nahnu lahum.
Dalam masalah ijtimaiyah ini Rasul memberi taujih da’wah dengan pola
yang jelas dengan berbagai pendekatan: Dengan pendekatan bahasa dan
budaya, khatibun naasa 'ala qadri lughatihim (bicaralah dengan
masyarakat sesuai dengan bahasa mereka); pendekatan intelektual,
khatibun nasa 'ala qadri uqulihim (bicaralah dengan masyarakat sesuai
dengan kemampuan nalar mereka); pendekatan sosial, anzilun nasa
manazilahum (tempatkanlah masyarakat sesuai dengan kedudukan mereka);
pendekatan ekonomi, tu'khadzu min aghniyaaihim wat turadduu ila
fuqaraaihim (ambillah sebagian harta orang-orang kaya mereka dan
bagikanlah ke orang-orang miskin di antara mereka)
Kelima, perhatikan tathwir siyasi (pengembangan politik). Yaitu
kemampuan kita merekayasa pendayagunaan potensi internal maupun
eksternal untuk tujuan-tujuan kita. Di antara potensi manusia sebagai
musakhar, kita harus mampu melakukan politican engineering (rekayasa
politis).
Tidak seluruh wihdatus shaf itu jamaah, jamaah hanya berperan sebagai
intinya. Wihdatus shaf adalah umat dalam satu ideologi dan kita
menyertakan mereka dalam perjuangan.
Dalam rekayasa politik kita dapat melakukan: (1) Aliansi ideologis,
yaitu kerjasama dengan kelompok Islam dari kalangan orang-orang yang
memiliki kemiripan akidah dan fikrah dengan kita, (2) Aliansi strategis,
yaitu kerjasama dengan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan yang
sama, seperti dengan kelompok nasionalis yang sama-sama bertujuan
mensejahterakan rakyat, (3) Aliansi taktis, yaitu kerjasama dengan
kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan bersama, (4) Aliansi teknis,
yaitu kerjasama yang sifatnya semata-mata istifadah, memanfaatkan dan
memberi manfaat.
Keempat aliansi ini dapat direalisasikan bila kita memiliki
kredibilitas politik dilandasi dengan kemampuan handasah siyasiyah
(kecerdasan politik).
Wallahu a’lam
Posted By : PKS Beringin DS
Jumat, 14 September 2012
Jumat, 14 September 2012
Antara Dua Ied (Al-Fithri dan Al-Adha) yang Penuh Barakah dan Rahmat
5:07 PM
Unknown