Islamedia - “
Wahai orang-orang yang beriman ! Penuhilah seruan Allah dan Rasul Nya, apabila
dia menyeru kepadamu sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah
sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada
Nyalah kamu akan dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak
hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa
Allah sangat keras siksanya.’(Qs. Al-Anfal:24-25)
***
Seorang al-akh pernah datang kerumah. Ia bercerita
kepada saya dengan gurat wajah yang tanpak gelisah. Banyak hal yang ia
ceritakan di sana. Salah satu di antaranya adalah tentang dakwah dan para
pelakunya. Atau yang lebih popular kita sebut dengan aktivis dakwah.
“Akhi, ana sedih melihat kondisi saat ini.” tuturnya
memulai cerita.” Tatsqif sore ini kok minim sekali pesertanya ya? Kemana ikhwah
yang lain?” lanjutnya dengan nada bertanya.
“Mungkin mereka belum dapat taklimat akhi. Sehingga
mereka gak tahu ada tatsqif hari ini.”
“Iyya akh, mungkin begitu. Tapi apakah harus menunggu
taklimat dulu baru datang ngaji?” katanya.” Tidak cukupkah dengan pengumuman
yang di sampaikan oleh panitia, di setiap akhir acara, bahwa setiap dua pekan
sekali ada kajian di sini. Di tempat ini. di masjid ini?” Protesnya lagi
“Ana heran saja sih. Ternyata sur’atul Istijabah
aktivis dakwah hari ini, ana lihat mulai kendor. Respon mereka dengan kegiatan-kegiatan seperti ini perlahan
melemah. Seharusnya kita, yang manyebut diri aktivis dakwah, memiliki respon
yang cepat dengan segala seruan-seruan dakwah. Bukan mencari-cari alasan
pembenaran untuk menjustifikasi kemalasan kita.”
“Menurut antum, dimana akar permasalahan yang
sebenarnya?” tanya saya menyelidiki.
“Ana gak tahu persis dimana letak persoalannya. Yang
jelas menurut ana, ta’shil ilminya yang kurang. Semangat untuk menuntut ilmunya
yang payah. Sehingga semangat yang dulunya berkobar dan menyala-nyala, perlahan
mulai padam. Dan kini hanya tinggal kenangan. Aktivis dakwah itu harus punya
iltizam yang kuat dengan ilmu akhi. Bicaranya ilmu. Tindakannya berlandaskan
ilmu, semangatnya pun juga begitu. Karena dengan ilmu inilah kita bisa me
ri’ayah semangat kita. Bukan dengan yang lainnya. Ini menurut ana sekali lagi
yang perlahan mulai di tinggalkan. Semangat mengaji, menambah kafaah syar’I, untuk
menjaga semangat yang kita miliki.”
Apa yang di katakan akh kita ini, benar juga fikirku.
Semangat menuntut ilmunya yang kurang. Padahal amanah yang dipikul tidak lah
pernah berkurang. Amanah akan terus bertambah, seiring dengan ekspansi dakwah
yang mulai merambah ke berbagai wilayah dan tentu dengan dinamikanya yang
berbeda-beda. Di butuhkan pundak-pundak kekar dan dada-dada yang di penuhi
dengan ilmu dan pemahaman, agar ia tetap tegak dengan mengibarkan bendera
perjuangan. Demikian, potongan diskusi saya dengan salah seorang akh sore itu,
selepas pulang dari menghadiri kajian di Masjid Raya at-Taqwa mataram.
***
Apa yang dimaksud dengan sur’atul istijabah? Biarlah
Asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah menjelaskannya,
“ Sur’atul istijabah adalah tindakan
pemenuhan fitrah yang bersih untuk memenuhi seruan da’wah yang haq dan lurus.
Di sana ada kejujuran, kelapangan, kekuatan semangat, pengetahuan yang benar
dan sambutan akan cetusan qalbu yang hebat atas kebenaran yang nyata.”
Tentang
sur’atul Istijabah ini, imam asy-Syahid Hasan Al-banna menggambarkan,“ Dapat
kugambarkan profil mujahid sejati dalam diri seseorang yang siap mengambil
bekal dan memenuhi perlengkapannya. Seluruh dirinya (seluruh sudut jiwa dan
hatinya) didominasi pemikiran seputar perjuangan. Ia dalam pemikiran yang
selalu, perhatian yang besar dan kesiapan yang senantiasa.”
Beliau
juga mengatakan,”Keimanan mujahid yang terjewantah dalam kesigapannya
melaksanakan kebaikan, tugas dan kewajibannya adalah refleksi dari jiwa yang
bertanggung jawab yang akan mampu menghindari penyesalan, kerugian dan
penderitaan. Ia pun bersegera menuntut ihsan dan itqonul ‘amal sehingga
membuahkan natijah yang kongkret.”
Bersemangat,
bertanggung jawab, responsif, bersiap siaga, dan bersegera memenuhinya. Mungkin
itulah yang dapat kita simpulkan dari paparan dua tokoh dakwah ini. Tokoh
dakwah yang telah menjual nyawa satu-satunya kepada dakwah, di jalan dakwah dan
untuk Allah Swt. Kata-katanya layak di dengar. Pendapatnya patut untuk di
renungkan serta perjalan dakwahnya sungguh bertebaran hikmah untuk kita ambil
pelajaran.
Jauh
sebelum mereka berdua, Abu Dujana r.a telah mencatatkan dirinya sebagai Ruhul
Istijabah, jiwa-jiwa yang merespon panggilan dakwah dengan segera. Jiwa-jiwa
yang memenuhi panggilan Jihad, kemudian menjualnya dengan kemewahan surga. “Wahai
Rasulullah, apa yang akan aku dapatkan dari jihad bersamamu? Tanyanya suatu
ketika. Rasulullah menjawab ,” Syurga”. Lalu seketika ia pun merespon : “ Kalau
begitu aku akan berperang sampai aku syahid dengan luka di sini.“ Kata Abu
Dujana sambil menunjuk ke lehernya. Rasulullah kemudian mengapresiasi
semangatnya itu dan berkata,“ Engkau akan mendapatinya, karena engkau jujur
kepada Allah.”
Tak
lama kemudian, berkumandanglah panggilan jihad. Rasulullah memerintahkan para
sahabatnya untuk segera berangkat ke Uhud. Dan berangkatlah abu Dujana dengan
semangat yang menyala-nyala. Dengan segera ia merangsek ke dalam barisan Uhud
dan mengatakan, “Sesungguhnya aku mencium wanginya syurga di balik Uhud !” Dan
benar, ketika para syuhada Uhud dimakamkan, para sahabat mendapati tubuh Abu
Dujana penuh dengan 70 luka pedang, dan luka panah persis seperti yang dia
tunjukkan. Allahu akbar!
Respon
yang luar biasa dari kisah para sahabat dalam perang Khaibar juga sudah kita
pelajari. Perang yang paling lama dan melelahkan. Dipuncak kelelahan, ketika
pasukan Muslim berhasil menguasai benteng Ash Sha’b bin Mu’adz, benteng yang
paling kaya dengan sumber makanan dan senjata. Di sana mereka telah memasak
seekor himar untuk mengisi perut mereka yang digerogoti rasa lapar. Di saat masakan
telah siap disajikan, tiba-tiba turun wahyu tentang pengharaman himar. Apa yang
terjadi kemudian?
Seketika
kuali yang berisi harum daging himar dibalik dan tumpahlah isinya. Tak ada
permohonan toleransi atau pembantahan. Nyaris diluar ketaatan kita yang
didominasi logika. Mungkin jika kita menjadi meraka akan mengatakan,”Mengapa wahyu
itu tidak turun sebelumnya? Tentunya tak akan membuat kecewa perut yang telah
keroncongan berhari-hari itu.” Itulah ketaatan dan kecintaan mereka kepada
Allah dan Rasul Nya. Yang menembus batas-batas logika.
Dalam
era kontemporer seperti saat ini, sur’atul istijabah itu seakan menguap. Bisa
dilihat dari jumlah peminat tatsqif kader, kajian ilmiah mahasiswa, bedah buku,
atau aksi turu ke jalan. Seharusnya layar HP mendadak buram ketika mendapat
jawaban sms, “ afwan ana tidak bisa hadir, ada kuliah…ada urusan ke sini….ada
bla…bla…bla…..
Entahlah,
berbicara hajat, urusan, kepentingan, semua kita, bahkan para nabi dan para
sahabat punya banyak kepentingan. Namun, Allah dan Rasul Nya lebih utama.
Kiranya cukuplah kisah Ka’ab bin Malik menjadi teguran dan pelajaran untuk kita
semua yang mengaku aktivis dakwah.
Lantas
apa sebenarnya yang melunturkan kekuatan sur’atul istijabah itu ? Seharusnya,
introspeksi jiwa menjadi kebiasaan, hingga kita dapat mengevaluasi beberapa hal
:
1. Keimanan.
Keimanan
yang dalam sangat mempengaruhi kekuatan sur’ah. Ia akan melahirkan sensitifitas
hati para jundi dakwah dalam memenuhi seruannya. Bila mana kekuatan iman itu
melekat di dalam hatinya, maka seperti itu pula kekuatan responnya terhadap
panggilan dakwah. Tabiat iman itu sendiri fluktuatif, suatu saat bertambah dan
di saat yang lainnya bisa berkurang. Bertambahnya dengan ketaatan, berkurangnya
dengan kemaksiatan. Semua tergantung dengan kondisi amaliyah kita sehari-hari.
Untuk itu cara kita me ri’ayah sur’ah itu adalah dengan melakukan amaliyah
dakwah yang berkesinambungan. Amaliyah yang berkesinambungan akan melahirkan
keimanan yang kuat dan bertambah kuat, sehingga setiap junudud dakwah akan
memilki ruhul istijabah yang kuat pula.
2. Ilmu dan Pemahaman
Pengetahuan
dan pemahaman yang benar dan mendalam terhadap wahyu (Alqur’an) adalah kunci
kedua setelah keimanan. Ia (ilmu dan fahm) adalah rukun pertama sebelum
menghidupkan ikhlas untuk menegakkan sebuah amal. Tak ada amal tanpa keikhlasan
dan tak ada keikhlasan tanpa pemahaman. Seorang da’i tidak mungkin dapat
mendistribusikan nilai-nilai Islam kepada orang lain, jika ia sendiri tidak
memahaminya. Selama seseorang tidak memahami prinsip yang diyakininya, ia tidak
akan bisa berinteraksi dengan prinsip tersebut dan ruh yang terkandung di
dalamnya.
Dua
hal ini, yang Allah perintahkan kepada Rasulullah Saw. untuk selalu di
panjatkan dalam doanya,”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu dan berilah aku
kefahaman.” Olehkarenanya, Beliau Saw. selalu mendorong para sahabat untuk
memberikan pemahaman kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Beliau
mengatakan kepada mereka : “ Berilah pemahaman pada saudaramu dalam urusan
agama ini. Bacakan dan ajarkanlah Alqur’an kepadanya.” ( Hadist riwayat Ath
Thabarani).
Ketahuilah, dalam jasad ini ada segumpal daging. Jika ia
baik, maka baiklah seluruh amalan kita. Jika ia nya rusak, maka rusak pulalah
seluruh amalan kita. Itulah hati. Ia harus di jaga, agar tetap sehat seperti
sedianya. Di dalam hati, bersemai padanya niat. Niat yang akan menentukan,
apakah amalan kita diterima ataukah sebaliknya. Niat juga sangat mempengaruhi
sur’ah yang akan menggerakkan jiwa dan raga seorang da’i untuk memenuhi
panggilan dakwah.
Hendaknya niat ini harus terus menerus ditajdid, untuk
memastikan apakah orientasinya tetap condong kepada dakwah ataukah dunia yang
fana ini? Barang siapa yang berdakwah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
dakwahnya untuk Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berdakwah, karena dunia
yang ingin dikuasainya atau wanita yang ingin di nikahinya, maka dakwahnya akan
berbuah sesuai dengan niatnya. Ia akan mendapatkan apa yang di cari, tidak
lebih dan tidak pula dikurangi.
Oleh karenanya Ibnul qoyyim al-jauziyah rahimahullah pernah
berkata,”cinta akan lenyap dengan lenyapnya sebab.” Ya, kecintaan kita terhadap
dakwah ini akan lenyap sesuai dengan motivasi awal kita bergabung di dalamnya.
Jika orientasi kita hanya karena jabatan, atau kekuasaan, atau harta benda,
atau yang lainnya, maka sebatas itulah umur cinta kita terhadap dakwah ini.
Namun, jika motivasi kita hanya semata-mata karena Allah, maka ketahuilah Allah
itu kekal. Allah itu abadi tak akan pernah berakhir sehingga Allah memenangkan
dakwah ini atau kita syahid di jalannya.
Untuk itu, tajdidunniyah adalah niscaya adanya.
Barangkali kita
tak menyadari, setitik noda maksiat telah mewarnai hati kita. Barangkali kita
tak menyadari, ada kata-kata busuk yang keluar dari lisan kita. Atau barangkali
ada sangka buruk yang terus menerus kita pelihara. Titik noda itu kemudian kian
menjalar menutupi sebagian hati kita, atau bahkan menutupi seluruhnya. hingga
cahayanya tak mampu lagi membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Hati kita
kemudian sakit. Lalu kemudian sekarat. Lalu kemudian mati. Jika sudah demikan,
masih adakah sur’atul istijabah menyertainya?
Hati yang sakit,
tidaklah mungkin menjawab panggilan dakwah dengan segera. Apatah lagi bagi hati
yang sudah mati. Hanya hati yang sehat wal afiatlah yang akan merespon dakwah
dengan segera. Hanya hati yang hiduplah yang sanggup memikul beban dakwah di
pundaknya. Sebelum ia terjangkiti penyakit yang akut dan mejadikannya
benar-benar mati, maka tak ada cara lain untuk mengobatinya. Obatilah ia dengan
beristighfar. Hidupkanlah ia dengan zikir. Karena hati yang berzikir adalah
hati yang hidup, sebaliknya hati yang tak pernah berzikir adalah hati yang
mati.
Rasulullah Saw.
bersabda,”Perumpamaan hati yang berzikir
kepada Allah dan yang tidak berzikir kepada Allah, ibarat hati yang hidup dan
hati yang benar-benar mati.”
Aktifkan kembali hati kita dengan berzikir.
Bersihkanlah hati kita dengan beristighfar. Sibukkan diri kita dengan tilawah
Al-Qur’an, zikir ma’tsurat, dan amaliyah yaumiyah lainnya,”Penuhilah seruan Allah dan Rasul
Nya, apabila dia menyeru kepadamu sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan
ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan
sesungguhnya kepada Nyalah kamu akan dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari
siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu.
Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya.’ (Qs. Al-Anfal:24-25).
“
Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu, dan mendapatkan syurga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang
bertaqwa.” (Q.S Ali Imron : 133)
Wallahu
a’lam.
Posted By : PKS Beringin DS