Tidak bergantinya kepemimpinan tertinggi jamaah tarbiyah dalam kurun waktu yang relatif panjang, menurut DR. Arief Munandar berimplikasi pada kesenjangan antar generasi. Secara psikologis, publik PKS melihat bahwa generasi berikutnya selalu berada di bawah kualifikasi Ustadz Hilmi.
DR. Arief dalam Disertasi Sosiologi-nya yang berjudul “Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader PKS dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004” juga mengatakan bahwa karisma Ustadz Hilmi adalah ikatan moral antara dirinya dan pengikutnya yang bersifat kultural.
Untuk mencegah oligarki yang memusat pada Murraqib ‘Am, maka DR. Arief mengusulkan untuk mengubah mekanisme organisasi.
“Calon pengisi jabatan Sekjen dan Bendahara Umum (sebaiknya) diajukan oleh Presiden Partai terpilih untuk diputuskan oleh Majelis Syura. Disamping menghilangkan campur tangan Ketua Majelis Syura dan staffing DPP, MPP, DSP.” Imbuhnya di depan para penguji di ruang AJB FISIP Universitas Indonesia (UI), Selasa, 5/7/2011.
Selain itu, ia juga mencemati berkembangnya faksi-faksi yang ada di PKS. Menurutnya faksionalisasi adalah sunatullah dalam suatu partai. Secara garis besar, DR. Arief membagi faksi tersebut dalam dua domain besar yakni antara kelompok religious movement oriented dengan political party oriented.
Pada kelompok yang memliliki kecenderungan pada orientasi politik, mantan Aktivis Dakwah Kampus UI kelahiran 1971 ini membaginya kembali menjadi tiga sub bagian, yakni faksi pragmatis, faksi progresif, dan faksi “Sekjen” (Anis Matta, red).
Hal ini juga berlaku pada faksi religious movement oriented, yang terbelah menjadi tiga bagian yaitu faksi idealis, konservatif, dan penantang.
Ia mencotohkan bahwa faksionalisasi itu terjadi dalam beberapa hal. Seperti dalam masalah paradigma, kelompok agamis melihat PKS adalah partai sekaligus jama’ah. Sedangkan kelompok orientasi politik beranggapan PKS adalah partai politik. Kelompok orientasi politik pun biasanya tidak mengakui adanya faksionalisasi, sedangkan kelompok agama membenarkan adanya faksionalisasi.
Selain itu, Kelompok agama menisbatkan pragmatisme PKS kepada Anis Matta dan kelompoknya. Sedangkan kelompok orientasi politik menisbatkan keberhasilan PKS kepada kontribusi Ustadz Hilmi.
Namun menariknya dalam penelitian yang melibatkan 19 informan, 17 diantaranya kader PKS dan 12 di jenjang ahli itu, masing-masing internal di satu faksi pun saling bertentangan cukup besar satu sama lainnya.
“Faksi pragmatis, progresif, dan faksi Sekjen saling beririsan cukup besar,” ujarnya.
“Sebaliknya tiga faksi lainnya yaitu faksi idealis, konservatif, dan penantang juga saling beririsan relatif luas satu sama lain, walaupun faksi penantang memiliki irisan cukup besar dengan kelompok orientasi partai politik,” sambungnya.
Maka untuk menengahi itu, data penelitiannya menunjukkan faktor penguat yang memoderasi faksi “dunia” dengan faksi “akhirat” adalah apa yang disebutnya dengan generasi tarbiyah.
Dikatakan olehnya bahwa terdapat semacam common feeling yang kuat pada kader PKS yang merupakan murid langsung Ustadz Hilmi dan memahami dinamika PKS lebih baik ketimbang kader-kader yang datang kemudian
Posted By : PKS Beringin DS