Oleh Ahmad Syafi’i Maarif
Mungkin sebagian pembaca sudah paham bahwa saya adalah penganut “filosofi garamnya Bung Hatta” sebagai lawan “filosofi gincu” ketika berbicara tentang Islam dan kekuasaan. Perhatikanlah, perilaku garam yang luluh dalam makanan, terasa tetapi tak tampak. Berbeda dengan gincu di bibir perempuan, sangat kentara tetapi tak terasa. Dengan filosofi inilah saya akan mengurai kemenangan Partai AKP ( Adelat ve Kalkinma Partisi/ Partai Keadilan dan Pembangunan) pimpinan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan (57) untuk ketiga ketiga kalinya dalam pemilu di Turki pada 12 Juni 2011. Dari 550 kursi yang tersedia di parlemen, AKP telah merebut sejumlah 325 (sekitar 49,9 persen). Jumlah kursi ini memang turun dibandingkan dengan perolehan pada pemilu 2002 dan 2007 (sebesar 363 dan 341). Erdogan tentunya telah melakukan introspeksi mendalam tentang tren penurunan jumlah kursi ini, sekalipun masih meraup kemenangan besar.
AKP adalah kelanjutan dari Refah Partisi (Partai Kemakmuran) pimpinan mentor Erdogan Dr Mecmettin Erbakan yang kemudian diterpedo pihak militer, pewaris Kemal Ataturk, pembangun sekularisme yang gagal di Turki. Erbakan hanya setahun menjabat perdana menteri (1996-1997) untuk kemudian diturunkan oleh pihak milter karena orientasi keislamanan nya dipandang berbahaya bagi kelangsungan sekularisme di Turki. Pihak militer yang bersikap kaku ini tidak mau menyadari dan tetap menutup mata bahwa sekularisme yang dibanggakan selama 79 tahun itu tidak menjadikan Turki menjadi negara makmur dan berwibawa.
Upaya sistematis untuk memisahkan publik dari nilai-nilai keislaman di Turki dengan penduduk sekitar 78 juta itu telah berakhir dengan sia-sia, berkat munculnya tokoh semisal Erbakan yang kemudian diteruskan oleh Erdogan dengan kapasitas kepemimpinan yang dahsyat tanpa mengusung slogan syariah. Tampaknya, Erdogan juga penganut filosofi garam kare na tidak mudah baginya menggusur sekularisme yang tercantum dalam konstitusi Turki.
Dalam ungkapan almarhum Mohammad Natsir, Erdogan harus pandai berpirau bersama ombak yang mengitari batu agar terhindar dari benturan kepala dengan karang sekularisme yang konstitusional itu. Sungguh, strategi Erdogan ini patut benar dicermati oleh partai-partai Islam di negeri ini yang sampai hari ini telah gagal melahirkan Erdogan-Erdogan made in Indonesia.
Dalam sebuah kolom pada mingguan Ibu Kota Agustus 2007, saya menulis tentang Erdogan dalam menyambut kemenang an AKP dalam pemilu, “Di tangan Erdogan, Islam menawarkan solusi, bukan slogan formalisme seperti yang diusung oleh berbagai kelompok yang buta realitas. Selamat Erdogan, tidak mudah bagi Anda menghapus citra Islam yang dituduh orang sebagai agama antidemokrasi. You are on the right track, for sure.” AKP memenangkan pemilu melalui sistem dan mekanisme demokrasi, sebuah sistem yang masih saja dipersoalkan oleh sementara umat Islam yang berfikir ahistoris.
Bagi kaum sekuler, kemenangan besar lewat pemilu ini tentu sangat menyulitkan posisi mereka sebab jika ditumbangkan lagi akan berhadapan dengan separo rakyat Turki yang memilih AKP. Bukankah ini sebuah risiko yang tidak kepalang tanggung? Apalah artinya tentara tanpa dukungan rakyat, bukan?
Karena keberhasilan Erdogan membangun Turki, politik dan ekonomi, dunia pada akhirnya harus memberikan penghargaan kepada tokoh ini. Pertumbuhan ekonomi Turki pada 2010 berada pada angka 8,9 persen, hampir mengejar Cina. Popularitasnya kini telah menyamai Kemal Ataturk ketika berhasil mempertahankan kemerdekaan Turki yang terus saja dirongrong oleh imperialisme Eropa sejak abad ke-19, sekalipun Imperium Turki Usmani yang sudah tua renta dan nyinyir itu harus ditumbangkannya. Di atas puing imperium yang berusia selama tujuh abad inilah Ataturk membangun pilar sekularisme yang kemudian ternyata tidak bermanfaat bagi Turki.
Sekalipun semula dicurigai Barat, Erdogan tetap saja melaju meniti karier politiknya yang spektakuler. Sampai detik ini, tidak kurang dari 19 Doktor Kehormatan telah diterimanya dari berbagai negara dan 31 Award (penghargaan) lain sebagai bukti atas keberhasilannya membangun Turki, sesuatu yang gagal diperbuat oleh tokoh-tokoh sekuler yang terbaratkan sekian lama.
Erdogan memang belum berhasil sepenuhnya meratakan keadilan untuk seluruh rakyatnya. Tetapi, kemenangan yang diraih AKP adalah simbol pengakuan bahwa di bawah Erdogan negara Turki sekarang telah berubah secara fundamental ke arah kemajuan yang tak pernah terbayang kan sebelumnya. Membangun dengan slogan syariah, tetapi membuahkan malapetaka, bukanlah cara Turki berurusan dengan dunia modern yang sedang mencari keseimbangan baru.
Posted By : PKS Beringin DS