Hamasah di Jalan Da'wah
Perjalanan dakwah masih panjang. Salah satu faktor yang membuat kita dapat bertahan dan terus eksis di jalan dakwah adalah adanya hamasah (semangat) dan iradah (kehendak) kuat yang tertanam dalam jiwa kita.
Jama'ah Penuh Berkah
Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.
Bekerja Untuk Indonesia
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)
Inilah Jalan Kami
Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (12:108)
Biduk Kebersamaan
Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Adakah di antara kita yang tersayat atau terluka ? Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.
Kamis, 29 Maret 2012
Kamis, 29 Maret 2012
Air Mata Saya Menetes di Rumah Dr Hidayat Nur Wahid
Yang tak Terliput dari Pak Dayat
Selasa, 20 Maret 2012
Selasa, 20 Maret 2012
“Neomodernisme Itu Dulu, Kini, Islamisasi Ilmu”
Oleh: Dr. Adian Husaini
RUANG anggrek di Arena Islamic Book Fair (IBF) Jakarta, Sabtu (10/3/2012) siang, berubah menjadi semarak. Sekitar 400 hadirin, peserta Peluncuran buku Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor memadati ruangan. Selama hampir dua jam mereka mengikuti pemaparan tentang pendidikan Islam dan dialog pemikiran Islam dengan pakar internasional Prof. Dr. Wan Mohd Nor. Hadir juga sebagai pembicara dalam acara tersebut Direktur Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin yang menguraikan tujuan pendidikan menurut al-Quran.
Usai acara yang dipandu oleh Dr. Nirwan Syafrin (peneliti INSISTS), itu, Prof Wan dikerubuti peserta diskusi yang meminta tanda tangan dan foto bersama. Fenomena seperti itu menarik. Sebab, Wan Mohd Nor bukanlah Siti Nurhaliza yang sempat popular di Indonesia. Acara saat itu pun bukan sejenis pentas seni atau panggung sulap. Acara itu, utamanya, membedah buku terbaru Prof. Wan Mohd Nor yang berjudul Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer – selanjutnya kita sebut RIHLAH.
Sebagai pewawancara dan editor “RIHLAH”, saya bisa menyatakan, bahwa ini buku serius. “RIHLAH” mengajak umat Islam untuk memahami dan memperjuangkan gagasan Islamisasi Ilmu – yang kini terus melaju. Buku setebal 482 halaman ini diterbitkan atas kerjasama Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM) bekerjasama dengan Institute for the Study of IslamicThought and Civilizations (INSISTS).
Liku-liku seorang ilmuwan besar yang berhijrah pemikiran dari satu paham ke paham lain, tentu bukan perkara kecil. Mengapa? Sebab, biasanya tidak mudah seorang yang punya reputasi internasional dan bergelar professor menyebut dirinya murid dari ilmuwan lain. Tapi, ini tidak berlaku bagi Prof. Wan. Ia menerapkan konsep adab dalam dirinya dalam soal keilmuan. Meskipun berbagai karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa: Inggris, Turki, Indonesia, Rusia, Bosnia, dan lain-lain – ia tetap mengaku sebagai murid dari ilmuwan besar: Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Naquib al-Attas.
Kisah hijrah dari neo-modernisme ke Islamisasi ilmu itu hanya bisa dituturkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Sebab, hanya dialah satu-satunya ilmuwan Muslim di muka bumi ini yang sempat berguru secara intensif kepada Fazlur Rahman dan Naquib al-Attas — dua ilmuwan yang menjadi sumber dua gagasan yang kemudian menjadi dua arus besar dalam pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia: yaitu aliran neomodernisme dan Islamisasi ilmu.
Publik di Indonesia sudah terlanjur mengenal nama-nama ilmuwan popular seperti Prof. Nurcholish Madjid dan Prof. A. Syafii Maarif sebagai murid Fazlur Rahman. Di Indonesia, keduanya dikenal sebagai pendukung gagasan neomodernisme. Nurcholish Madjid bahkan sudah sejak awal 1970-an sudah mencetuskan gagasan sekularisasi yang kemudian berlanjut pada perjumpaannya dengan Fazlur Rahman, saat dia menimba ilmu di Chicago University.
Dalam disertasinya doktornya di UIN Jakarta — yang kemudian diterbitkan dengan judul, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003) — Dr. Abd. A’la, dosen IAIN Surabaya, mengaitkan erat pemikiran pembaruan Islam Nurcholish Madjid dengan gagasan “neo-modernisme” Islam Fazlur Rahman.
Bahkan, disertasi Dr. Greg Barton di Monash University, tentang pemikiran tokoh-tokoh neo-modernisme di Indonesia, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina: 1999). Yang dimaksud dengan gagasan “Islam Liberal” oleh Barton, tak lain adalah gagasan neo-modernisme yang diusung oleh sejumlah tokoh di Indonesia, termasuk Nurcholish Madjid. Menurut Greg Barton ada empat gagasan pokok gerakan neo-modernisme Islam, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Gagasan “kontekstualisasi ijtihad” memang merupakan salah satu ide penting yang diusung oleh Prof. Fazlur Rahman. Neo-modernisme Fazlur Rahman mengajukan perlunya perubahan metodologi penafsiran al-Quran yang biasa dikenal umat umat Islam sebagai Ilmu Tafsir. Fazlur Rahman dikenal sebagai pelopor penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Memahami Rahman: Kesaksian Seorang Murid”, Ahmad Syafii Maarif menulis:
“Neomodernisme yang ditawarkan Rahman, pada dasarnya adalah modernisme Islam plus metodologi yang mantap dan benar dalam memahami al-Quran dan Sunnah Nabi dalam perspektif sosio-historis. Bagi Rahman, tanpa suatu metodologi yang tepat dalam menangkap pesan-pesan Islam, orang akan sulit memahami secara jernih kaitan organis antara dasar-dasar teologis Islam dan persoalan serta nilai-nilai praktis dalam kehidupan. Al-Quran, dengan demikian, seperti telah ditegaskan di atas, harus dijadikan pedoman utama dan pertama dalam memahami Islam.” (Pengantar Ahmad Syafii Maarif untuk terjemahan buku Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2003).
Memang, dalam bukunya, Islam and Modernity, Fazlur Rahman berpendapat bahwa al-Quran adalah “literally God’s response through Muhammad’s mind to a historic situation.” Menurut Rahman, “the Quran is entirely the words of God and, in ordinary sense, also entirely the words of Muhammad.” (Dikutip dari Disertasi Dr. Ahmad Bazli bin Syafie di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur yang berjudul A Modernist Approach to the Qur’an: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman, 2005).
Kritik seorang murid
Metodologi Fazlur Rahman dalam memahami al-Quran yang menekankan aspek sosio-historis itulah yang memicu kontroversi luas di kalangan cendekiawan Muslim. Adalah menarik, bahwa salah satu pengkritik utama penggunaan metode hermeneutika tersebut adalah Prof. S.M.N. al-Attas dan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud – sahabat dan murid Fazlur Rahman. Dalam bukunya The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), Wan Mohd Nor menulis satu judul sub bab, “Tafsir is not Hermeneutics”.
Ia menulis dalam bukunya tersebut: “Al-Attas is perhaps the first contemporary Muslim scholar who has understood the unique nature of the Islamic science of tafsir and distinguishes it from the Western concept and practice of hermeneutics, whether on Biblical sources or other texts. In this respect al-Attas differs substantively from Fazlur Rahman and other modernist or post modernist Muslims like Arkoun, Hassan Hanafi and A. Karim Shoroush.”
Dalam kasus inilah tampak keunikan posisi Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Meskipun bergaul akrab dan sangat menghormati Fazlur Rahman, yang diakuinya sebagai guru dan ilmuwan besar di abad ke-20, Wan Mohd Nor tidak segan-segan memberikan kritik yang sangat tajam terhadap pemikiran Fazlur Rahman. Wan Mohd Nor menyatakan sependapat dengan pemikiran Naquib al-Attas, bahwa tafsir “benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.”
Lebih lanjut Wan Mohd Nor menulis: “Konsekuansi dari pendekatan hermeneutika ke atas sistem epistemologi Islam termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan saya fikir agak berbahaya. Yang paling utama saya kira ialah penolakannya terhadap penafsiran yang final dalam sesuatu masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak, malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan kelompok manusia.” (Lihat, artikel Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud di Majalah Islamia terbitan INSISTS edisi 1, tahun 2004 dan wawancara dengan beliau di majalah yang sama pada edisi 2, tahun 2004. Kajian komprehensif tentang hermeneutika dapat disimak pada Islamia edisi 1 dan 2 tersebut).
Kritik Wan Mohd Nor terhadap penggunaan hermeneutika terhadap al-Quran sangat mendasar. Sebab, dampak hermeneutika dalam penafsiran al-Quran berujung kepada relativisme Tafsir; tidak ada penafsiran final, dalam masalah agama, akhlak, dan masalah keilmuan lainnya. Dengan tegas, dikatakannya: “Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan kelompok manusia.”
Padahal, bagi penganut neomodernisme atau liberalisme, penggunaan hermeneutika untuk al-Quran dipandang sebagai satu keharusan. Bahkan, Prof. Hamim Ilyas, guru besar di UIN Yogya, menulis, bahwa orang yang menolak hermenetika untuk al-Quran bisa dicap sebagai salah satu ciri kaum fundamentalis. (Lihat CAP Adian Husaini ke-217).
*****
Saat berceramah di sejumlah kampus Indonesia, Prof. Wan Mohd Nor ditanya, mengapa sebagai murid Fazlur Rahman, pemikirannya berbeda dengan gurunya? Secara diplomatis, Prof. Wan menjawab: “Fazlur Rahman sendiri mengajarkan muridnya bersikap kritis.”
Nah, buku “RIHLAH” ini memaparkan kisah-kisah menarik – disertai dengan dokumen-dokumen otentik — bagaimana persahabatan yang sangat erat antara Wan Mohd Nor dengan Amien Rais dan Syafii Maarif, dan lain-lain. Tapi, pada saat yang sama, kita bisa memahami bagaimana perbedaan pemikiran antara Wan Mohd Nor dengan sejumlah sahabatnya itu. Beberapa dokumen dan foto kebersamaan dan persahabatan Wan Mohd Nor dengan Syafii Maarif, Amien Rais, dan sejumlah tokoh dari Indonesia bisa dinikmati dalam RIHLAH.
Saya menuliskan kata pengantar untuk RIHLAH ini dengan judul “Satria Digdaya dari Kelantan”. Judul ini kurang disetujui Prof. Wan Mohd Nor. Tapi, saya tetap bertahan. Alasannya, Wan Mohd Nor memang orang Kelantan yang telah tercebur ke dalam “kawah-panas” berbagai jenis pemikiran sekular-liberal, dan kemudian menjasi satria digdaya yang kritis terhadap paham-paham modernism dan neo-modernisme. Bahkan, buku RIHLAH ini, ditutupnya dengan sebuah bait puisi tentang Imam al-Ghazzali:
“Wahai cendekia modernis dan ulama keliru
Kenapa helang Muhammadi difitnah melulu?
Sekian lama kau menghuni sarangnya di takhta bangsa
Masih gagal membimbing bangsa mencapai cita.
Sebuah contoh menarik adalah persentuhannya dengan kaum Syiah. Di buku ini, Mohd Nor pun memaparkan kunjungannya sebanyak dua kali ke Iran dan pertemuannya dengan banyak pejabat serta cendekiawan Iran. Namun, dalam RIHLAH, diungkapkannya sebuah sikap yang tegas sebagai seorang Muslim Sunni, melalui sebuah puisi tentang Imam Khomeini, yang ditutup dengan bait berikut ini:
“Kita harus setia kepada Mustafa dan Tuhannya nan baqa
Apa untungnya terus bertengkar siapa berhak menjadi Raja?
Jika ‘Bu Bakar, Umar, Uthman, A’isyah diragui kalian
Bolehkah kami, yang lebih adna, lebih hina, dibuat kawan?
Dalam dunia pemikiran Islam, nama Prof Wan sudah dikenal di berbagai penjuru dunia. Ia telah menulis lebih dari 16 buah buku dan monograf yang diantaranya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Diantara karyanya yang terkenal ialah, “The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country” (New York and London, 1989); “The Beacon on the Crest of a Hill” (ISTAC, 1991); “Penjelasan Budaya Ilmu” (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990); edisi keduanya diterbitkan Pustaka Nasional Singapura, 2003; “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas : An Exposition of the Original Concept of Islamization” (ISTAC, 1998).
Dibandingkan dengan buku-bukunya yang lain, buku RIHLAH ILMIAH ini memiliki keunikan tersendiri, sebab buku ini bukan hanya menjelaskan isi dan makna suatu konsep, tetapi juga latar belakang kehidupan dan perilaku tokoh-tokoh yang mengusung suatu konsep tertentu, khusus Fazlur Rahman dan Naquib al-Attas.
Prof. Naquib al-Attas adalah ilmuwan besar yang memelopori gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dalam RIHLAH, Prof. Wan menguraikan banyaknya kesalahpahaman terhadap gagasan Islamisasi Ilmu. Padahal, ia mencatat: “Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya ialah Islamisasi fikiran, jiwa dan akhlak manusia. Islamisasi ilmu pengetahuan harus melahirkan manusia Muslim beradab tinggi. Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak terpisah dengan proses penyucian jiwa (tazkiah al-nafs) dan pengindahan peribadi (tahzibul akhlak).”
Sementara Fazlur Rahman menolak gagasan Islamisasi Ilmu. Al-Attas banyak mengkritik pemikiran Fazlur Rahman. Tetapi, UNIKNYA, buku ini mencatat komentar Fazlur Rahman yang menyatakan, al-Attas adalah “ilmuwan genius”, dan Wan Mohd Nor diminta secara khusus oleh Fazlur Rahman untuk menemani al-Attas selama dia melakukan penelitian University of Chicago. Al-Attas juga mengundang Fazlur Rahman untuk mengajar di ISTAC. Tetapi, Fazlur Rahman “keburu” wafat, dipanggil Allah SWT. Akhirnya, seluruh koleksi perpustakaan pribadi Fazlur Rahman diserahkan ke ISTAC atas permintaan al-Attas kepada keluarga Rahman.
Walhasil, selamat membaca sendiri buku RIHLAH ILMIAH ini. Semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita di jalan-Nya yang lurus. Amin.*/ PP Gontor Kediri, 11 Maret 2012
Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Sumber : http://hidayatullah.com/read/21637/12/03/2012/%E2%80%9Cneomodernisme-itu-dulu,-kini,-islamisasi-ilmu%E2%80%9D-.html
Posted By : PKS Beringin DS
3 Modal Hidayat untuk Lawan Foke & Jokowi
PKS mantap mengusung Hidayat Nurwahid dan Didik J Rachbini. PKS pun yakin figur Hidayat bisa mengalahkan sosok Fauzi Bowo yang digadang Partai Demokrat (PD) dan Joko Widodo atau Jokowi yang diusung PDIP-Gerindra.
“Pertama, figur Hidayat yang berkarakter dan terbukti laku dijual. Kedua, jaringan struktur di DKI yang sudah sampai ke koordinator RW. Ketiga, semangat. Kader di DKI akan turun semua,” jelas juru bicara PKS, Mardani, saat dikonfirmasi detikcom, Selasa (20/3/2012).
Selain sosok Hidayat, PKS juga yakin dengan sang pendamping, Didik J Rachbini. Kapasitasnya sebagai ekonom bisa diandalkan untuk membangun perekonomian Jakarta.
“Kita ingin indikator ekonomi Jakarta, khususnya masalah pekerja informal, UMKM dan pelaku bisnis merasakan PKS bisnis friendly,” jelasnya.
Figur Didik diyakini bisa mem-back up dan memberi dukungan untuk bisnis friendly di Jakarta. “Kita yakin itu,” tuturnya.
Ada 6 pasang kontestan yang akan berlaga di DKI Jakarta. Hidayat-Didik diusung PKS, Alex Noerdin-Nono Sampono diusung Golkar, PPP, dan PDS. Kemudian Jokowi-Ahok diusung PDIP-Gerindra, dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli diusung PD, PAN, PKB, PBB, dan sejumlah partai lainnya.
Juga 2 pasang calon independen yakni Faisal Basri-Biem Benyamin dan Hendardji Soepandji-A Riza Patria. Calon independen ini masih membutuhkan dukungan KTP. Mereka mendapat waktu hingga 9 April untuk memenuhi persyaratan.
Sumber : http://news.detik.com/read/2012/03/20/102642/1871693/10/3-modal-hidayat-untuk-lawan-foke-jokowi
Posted By : PKS Beringin DS
Kuasailah Harta, Jangan Dikuasai!
HAMPIR setiap orang berharap memiliki harta yang berlimpah. Apalagi di zaman semua serba uang. Semua kebutuhan dan keinginan harus diperoleh dengan uang.
Sayangnya orang banyak lupa, gara-gara harta, tidak sedikit yang nestapa. Lihatlah di negara-negara berteknologi maju dan melimpah materi, justru merebak empat penyakit akibat stres: jantung, kanker, radang sendi, dan pernapasan. Inilah gambaran nestapa peradaban materi. Harta yang dicari dan dibangga-banggakan ternyata membawa sengsara. Tak bisa menjamin hidup bahagia.
Agar harta tak sia-sia, kita harus bijak menggunakannya. Jika tidak, kita sama saja lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Miskin menderita, kaya pun sengsara.
Nah, bagaimana seharusnya kita menyikapi harta benda ini?
Orientasi Tauhid
Apa orientasi dasar hidup kita? Bagaimana kita memandang materi yang kita cari dan kita punyai? Untuk apa semua harta yang kita miliki?
Banyak orang, tanpa sadar, belum memiliki orientasi dasar yang benar terhadap harta. Cara pandangnya kabur, terombang-ambing oleh situasi dan kondisi.
Cara pandang seseorang terhadap harta menunjukkan lurus tidaknya orientasi hidupnya. Seorang yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan harta menunjukkan orientasi dasarnya adalah kekayaan. Ia menjadikan harta itu sebagai tujuan tertinggi. Sehingga ia rela mengorbankan waktu, kejujuran, dan harga diri demi mendapatkan kekayaan.
Bahkan, berdoanya kepada Tuhan pun tidak ada yang diminta kecuali harta dunia. Nasib di akhirat pun terabaikan. Inilah yang disyinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Firman-Nya:
فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ
Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”; dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (Al Baqarah [2]: 200)
Jika itu yang dilakukan, tidak perlu menunggu di akhirat, di dunia pun pasti akan menuai banyak masalah. Ia telah menebar energi negatif. Dan siapa yang menebar angin, ia pasti menuai badai.
Niat dan tindakan yang tidak benar akan berbuah pahit. Konflik dengan keluarga dan kolega, berurusan dengan hukum, sampai ancaman pembunuhan dari mereka yang merasa dizalimi.
Cara-cara seperti itu jelas tidak mengundang berkah dan ridha Allah Ta’ala. Mungkin bisa saja ia berkelit dari jeratan hukum karena kelicinannya. Tapi, tanpa rahmat Allah Ta’ala, kehidupannya tak akan berkah.
Seorang yang telah bersyahadat mestinya menjadikan tauhid sebagai orientasi dasar dalam hidupnya dan menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. Adapun harta hanya menjadi alat, bukan tujuan. Maka ia akan menggunakan harta sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan mulia itu.
Bernilai Ibadah
Bekerja mencari harta, bila berorientasi benar, bisa memuliakan kita. Meski bekerja terlihat hanya sebagai amalan dunia, tapi jika berbingkai tauhid, semuanya menjadi bernilai ibadah.
Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada anak muda yang kuat dan perkasa. Suatu hari, pagi-pagi sekali, ia sudah keluar rumah untuk bekerja mencari harta.
Kemudian ada orang yang berkomentar, “Kasihan sekali orang itu. Andai kata masa mudanya serta kekuatannya digunakan untuk fi sabilillah, alangkah baiknya.”
Mendengar komentar itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meluruskannya. Kata beliau, ”Janganlah kamu mengatakan begitu. Sebab kalau keluarnya orang itu dari rumah untuk bekerja demi mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi bila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megahan maka itu fi sabilisy syaithan (karena mengikuti jalan setan).” (Hadits Riwayat Thabrani).
Dengan semangat fi sabilillah harta menjadi berkah. Harta akan mendatangkan kebaikan karena di sana ada rahmat Allah Ta’ala. Kalau ada kelebihan, insya Allah, bukan untuk kesombongan dan bermegahan, tetapi untuk diberikan kepada orang lain sebagai zakat, infak, dan sedekah. Harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang yang baik, yang digunakan untuk beramal shaleh.
Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada juga yang berharta banyak. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman bin Auf. Dia pernah menyedekahkan 700 ekor unta beserta muatannya berupa kebutuhan pokok dan barang perniagaan kepada kaum Muslim. Ia juga pernah membeli tanah senilai 40 ribu dinar atau setara Rp 55 miliar untuk dibagi-bagikan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan fakir miskin. Ia juga pernah menginvestasikan tak kurang 500 ekor kuda perang dan 1.500 ekor unta untuk jihad fi sabilillah.
Ketika wafat ia pun masih sempat mewasiatkan 50 ribu dinar untuk diberikan kepada veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 dinar atau setara Rp 560 juta.
Tidak semestinya kelebihan harta menghalangi kita untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan tidak halal jelas hanya akan mempersulit perjalanan menuju Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan halal tetapi belum digunakan di jalan Allah, juga masih belum bernilai di sisi-Nya.
Harta yang telah disedekahkan di jalan Allah Ta’ala, itulah investasi abadi yang akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah Ta’ala. Sementara harta yang tersimpan, saat maut menjemput, pasti akan kita tinggalkan di dunia ini. Hanya amal yang akan menyertai kita menghadap Allah Ta’ala kelak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda, ”Ada tiga perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Zuhud Sejati
Banyak orang kaya yang merasa seolah-olah menguasai harta, padahal dialah yang dikuasai harta. Orang yang menjadikan harta sebagai tujuan dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya adalah orang yang telah diperbudak oleh harta dan kesenangan dunia.
Seorang yang punya orientasi dasar tauhid dan istiqamah dengan prinsipnya, akan memiliki mental yang tercerahkan. Kaya bukan semata pada harta, tetapi pada hati. Rasa berkecukupanlah yang membuat orang bisa berdaya memberi dan berbagi.
Sebaliknya, seseorang yang secara materi kaya, tetapi mentalnya masih berkekurangan dan tamak, tak akan mampu mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala. Ia malah ingin menyimpan sebanyak-banyaknya lagi. Mengambil dan mengambil. Orang demikian telah diperalat oleh hartanya.
Seorang yang bertauhid, hanya menjadi hamba Allah Ta’ala, bukan hamba selain-Nya. Ia hanya rela dikuasai oleh Allah Ta’ala, bukan selain-Nya. Orang seperti Abdurrahman bin Auf mampu memberikan hartanya sampai sekian banyak bukan karena ia kaya raya, tetapi karena ia mampu menguasai hartanya.
Sehingga, meski kaya raya, penampilan Abdurrahman bin Auf tetap sederhana. Ia tidak menyombongkan diri. Pakaiannya sama dengan pakaian pelayannya. Di badannya ada dua puluh bekas luka perang. Cacat pincang dan giginya yang rontok sehingga berakibat cadel, adalah tanda jasa di perang itu.
Harta seharusnya hanya menempel di tangan saja, bukan di pikiran, apalagi di hatinya. Itulah zuhud. Zuhud bukan karena tidak ada harta tetapi karena idealisme tauhidnya. Orang seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat sebagaimana doa yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala yang termaktub dalam Al Baqarah [2]: 201.
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Wallahu a’lam bish-shawab.*
Sumber : http://hidayatullah.com/read/21791/20/03/2012/kuasailah-harta,-jangan-dikuasai!.html
Posted By : PKS Beringin DS
Maju Pilgub, HNW-Didik Rachbini Siap Menang
10 Tanda Degradasi Ruhiyah Aktifis Dakwah
Kader PKS : Bagaimana Kami Menanggapi Isyu
Sabtu, 17 Maret 2012
Sabtu, 17 Maret 2012
Heryawan Ingin Wujudkan Jabar Provinsi Teraman
Bandung - Gubernur Jabar Ahmad Heryawan memberikan apresiasi terhadap komitmen Forum Ormas Jabar yang menolak semua bentuk terorisme, radikalisme, dan separtisme.
Komitmen itu, katanya, sejalan dengan misi Pemprov yang ingin mewujudkan Jawa Barat sebagai provinsi teraman di Indonesia.
“Saya apresiasi dengan apa yang dilakukan forum ormas hari ini. Komitmen ini sebagai perwujudan kepedulian elemen masyarakat terhadap daerahnya sendiri. Insya Allah dengan tekad bersama, kita akan wujudkan Jabar sebagai provinsi paling aman dan damai di Indonesia,” kata Heryawan usai memimpin apel Forum Ormas Jabar di Lapangan gasibu Jalan Diponegoro Kota Bandung, Sabtu (17/3/2012).
Heryawan berharap, deklarasi pernyataan sikap Forum Ormas Jabar akan membuat setiap jengkal wilayah Jabar benar-benar kondusif. Bahkan tujuan Jabar sebaga provinsi teraman dan terdamai di Indonesia bakal terwujud.
“Kita sepakat menolak segala bentuk terorisme, radikalisme dan separatisme yang merongrong kondusivitas negara karena merupakan kejahatan kemanusiaan,” paparnya.
Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) se-Jabar membubuhkan tanda tangan di atas kain sepanjang 1.000 meter sebagai komitmen menolak terorisme, radikalisme, dan separatisme.
Penandatanganan bersama itu dilakukan usai pelaksanaan apel besar Forum Ormas Jabar di Lapangan Gasibu Jalan Diponegoro Kota Bandung, Sabtu (17/3/2012).
Penandatanganan diawali oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang memimpin apel itu, lalu diikuti anggota Forum Ormas.
Koordinator Forum Ormas Jabar Hendra mengatakan Forum Ormas Jabar juga akan melakukan koordinasi dan melapor ke instansi berwenang dan terkait jika melihat atau mendengar indikasi aktivitas radikalisme, terorisme, dan separatisme.
“Forum Ormas Jabar bertekad ikut serta menjaga dan memelihara keamanan dari gangguan dan ancaman. Kita akan lakukan koordinasi dan melaporkan kepada pihak berwenang jika mendengar atau melihat tindakan berbau terorisme, radikalisme, dan separatisme,” tegasnya.
Sementara itu, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan memberikan apresiasi terhadap komitmen Forum Ormas Jabar yang menolak semua bentuk terorisme, radikalisme, dan separtisme. Komitmen itu sejalan dengan misi Pemprov Jabar yang ingin mewujudkan sebagai provinsi teraman di Indonesia.
“Saya apresiasi dengan apa yang dilakukan Forum Ormas hari ini. Komitmen ini sebagai perwujudan kepedulian elemen masyarakat terhadap daerahnya sendiri. Insya Allah dengan tekad bersama, kita akan wujudkan Jabar sebagai provinsi paling aman dan damai di Indonesia,” kata Heryawan.(inilah.com)
Posted By : PKS Beringin DS
Bekerja untuk kejayaan Beringin adalah ibadah
Habibie: Kenaikan BBM Miskinkan Rakyat
Helikopter NATO Jatuh, 16 Orang Tewas
Kamis, 15 Maret 2012
Kamis, 15 Maret 2012
Israel Didesak Bebaskan Tahanan Wanita Palestina
Waspadai “Jebakan” Waktu Luang!
Al Ikhwan: Silahkan Emirat Lakukan Penyidikan
Puluhan Warga Palestina Kehilangan Tempat Tinggal
Mengapa Kaum Muslimin Mundur?
Oleh, Nuim Hidayat (Dosen STID Mohammad Natsir)
Pertanyaan ini selalu mengemuka bagi mereka yang sehari-hari bergelut dengan perjuangan menegakkan Islam, melanjutkan risalah Rasulullah saw. Kenapa saat ini lebih dari 1,3 milyar Muslim di dunia mundur, tidak maju dan tidak dapat memimpin dunia, sedangkan orang-orang non Muslim mengalami kemajuan yang mengagumkan dan memimpin peradaban dunia?
Pertanyaan hampir sama pernah diungkapkan oleh Syekh Muhammad Basyumi Imran, Imam bagi Kerajaan Sambas, Kalimantan kepada Ustadz Al Amir Syakib Arsalan. Surat itu disampaikan via pemimpin majalah Al Manaar, Mesir, Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Oleh Rasyid Ridha jawaban dari Ustadz Syakib Arsalan itu diberi kata pengantar dan dicetak menjadi sebuah buku yang terbit pertama kali pada 1349 H. Buku itu diberi judul “Limadza taakharal Muslimun wa limadza taqaddama ghairuhum?” (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum non Muslim Maju?)
Pada bukunya itu, Syakib Arsalan menjelaskan: “Tentang sebab-sebab kemajuan yang diperoleh dan dicapai oleh umat Islam pada masa dahulu, pada pokoknya secara singkat demikian: agama Islam yang baru lahir di seluruh Jazirah Arabia pada masa itu, lalu segera diikuti dan ditaati benar-benar oleh bangsa Arab dan kabilah-kabilah di sekitar Jazirah Arab. Mereka dengan petunjuk dan pimpinan Islam yang benar itu telah berubah dari berpecah belah dan bercerai berai kini menjadi satu, seia dan sekata, dari biadab menjadi beradab, dari bodoh menjadi pandai, dari dungu menjadi cerdik, dari kekerasan hati dan kekerasan perangai menjadi lunak, ramah tamah dan kasih sayang sesama makhluk dan dari penyembah berhala menjadi penyembah Tuhan Yang Maha Esa.”
Penulis buku yang terkenal itu melanjutkan bahwa sebenarnya Allah telah menjanjikan kepastian kemuliaan orang-orang beriman. Seperti dalam surat Al Munafiqun ayat 8 :
“Dan bagi Allah lah kemuliaan, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman”
Dan juga surat ar Rum ayat 47 “Dan adalah hak bagi Kami (Allah) untuk memberi pertolongan kepada orang-orang beriman.”
Tapi Allah akan memberikan kemuliaan atau pertolongan ini bila kaum Muslimin beramal dengan amal yang nyata. Syakib Arsalan kemudian bertanya: “Apakah tuan pernah melihat suatu bangsa yang tidak pernah beramal atau berjuang lalu mereka diberi pertolongan oleh Allah dan diberi karunia kebajikan oleh-Nya. Sebagaimana yang pernah diberikan kepada leluhur dan nenek moyang mereka, padahal keadaan mereka hanya duduk termenung, malas bekerja dan jauh daripada berkemauan untuk beramal? Jika ada peristiwa yang sedemikian itu adalah menyalahi akan peraturan dan sunnatullah, padahal Allah itu Maha Tinggi serta Maha Bijaksana. Apa yang akan Anda katakana jika seorang mendapat kemuliaan padahal ia tidak berhak untuk mndapat kemuliaan itu? Dapatkah ia mengambil buah dengan tidak menanam, mengetam dengan tidak bersawah atau berladang dan berbahagia raya dengan tidak berusaha? Patutkah kiranya kemenangan didapat dan dicapai dengan tidak berjuang, memperoleh kekuatan dengan tidak ada sebab-sebab yang dapat mendatangkan kekuatan itu?”
Sedangkan Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada satu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar Ra’d: 11)
Kemudian, Sakib Arsalan memberikan tips praktisnya agar bangsa-bangsa muslim menjadi mulia, yaitu: jihad harta dan jiwa. Firman Allah : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS At Taubah 111).
Tentang hal ini, Rasyid Ridha menambahkan komentar: “Umat Islam suka menuntut keduniaan, tapi mereka meninggalkan rukun Islam yang amat penting yang mengenai keduniaan, yaitu zakat dan jihad dengan harta benda ((zakat, infak, sedekah dll) dan jiwa dalam membela agama Allah.”
Kemudian Rasyid Ridha mengungkapkan contoh tentang dogma pasukan Italia ketika menyerbu Tripoli (Libia) yang dimuat dalam “Asy Syarq” nomor 543: “Sesungguhnya daripada sebesar-besar kehinaan bagi seorang pemuda Italia –yang telah berumur 20 tahun jika ia tidak ikut berperang, memerangi Tripoli—untuk membela tanah airnya, mempertahankan bendera yang berwarna tiga, padahal bunyi musik peperangan selalu memanggil untuk menyadarkan jiwa yang berani maju ke depan, “Wahai para ibu! Sempurnakanlah sembahyang ibu dan janganlah ibu menangis, tetapi tertawalah dan berharaplah engkau dengan sungguh-sungguh! Tidakkah ibu mengetahui bahwa Italia memanggil-manggil aku, dan aku akan berangkat pergi menuju Tripoli dengan riang gembira, guna mengorbankan darahku untuk menghapuskan umat Islam yang terkutuk itu; dan untuk memerangi agama Islam yang memperkenankan para rajanya mengawini gadis-gadis yang remaja puteri! Aku akan memerangi dengan kekuatanku untuk menghapuskan Al Qur’an yang selalu dipuja-puja oleh umat Islam, umat yang terkutuk itu! Tidak akan termasuk orang yang terhormat, siapa-siapa yang tidak mati selaku bangsa Italia yang sejati!”
Tapi meski demikian ketika itu pasukan kaum Muslimin Arab ketika itu tidak pernah menyerah. Pertempuran yang terjadi di “Fuwaihat” dekat pintu “Baghazi” disana ada 150 tentara Muslim Arab yang tetap tegak mempertahankan kota, menghadapi 3000 tentara bangsa Italia dari pagi sampai petang. Saat itu hampir semuanya pasukan Islam meninggal, tinggal beberapa orang saja yang masih hidup karena ditinggal pergi pasukan kafir Italia yang mengira mereka telah mati semuanya sebab hari telah malam.
Saat kaum Muslimin berduka mendengar kabar peristiwa itu, tiba-tiba datang “berita kawat” dari Istanbul Turki, yang mengutip berita resmi dari Kedutaan Jerman di Roma, yang menyatakan bahwa dalam pertempuran yang hebat itu pasukan Italia yang tewas 1500 orang dan pimpinan pasukan mereka yang gila sebanyak 7 orang”.
Penulis buku itu juga menganjurkan agar umat Islam mandiri perekonomiannya. Kata Arsalan: “Aku pernah mendengar bahwa bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya, mereka tidak suka membeli barang-barang yang dipelukan terutama barang-barang yang berharga. Melainkan mereka mesti membeli (pesan) dari negeri mereka sendiri (London). Dengan tujuan agar keuntungan perdagangan itu jangan sampai jatuh k luar dari negeri mereka. Peristiwa yang sedemikian itu kiranya dapat dijadikan ukuran bagi perangai umat Islam dewasa ini, yang bagaimanapun kami nasehati atau kami peringatkan supaya berjual beli dengan/dari kedai-kedai bangsa sendiri yang setanah air dan seagama; tapi pada umumnya mereka sangat tidak memperdulikannya karena dirasanya perkara kecil. Mereka tetap berjual beli dan tetap berbelanja ke dari kedai-kedai bangsa Eropa meninggalkan kedai-kedai bangsa sendiri yang sebangsa dan setanah air. Tidakkah peristiwa yang sedemikian itu menjadi sebab rusaknya pemboikotan bangsa Arab kepada kaum Yahudi di Palestina? Umat Islam mencuci diri mereka sendiri dengan satu senjata yang tajam. Mereka pura-pura memboikot barang-barang kaum Yahudi, lantaran perbedaan harga yang sedikit. Dalam sebentar waktu mereka kembali berhubungan dengan kaum Yahudi. Karena mereka lupa bahwa bahaya yang mereka dapati lantaran berjual beli dengan bangsa Yahudi itu ada lebih besar, seribu kali lipat bahayanya.”
Dahsyatnya jihad harta ini juga diungkap oleh Ulama Intelektual Hamas, Dr Nawwaf Takruri dalam bukunya “Al Jihadu bil mal fi sabilillah” (Dahsyatnya Jihad Harta, terj.). Dalam karyanya itu Dr Nawaf menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi dan organisasi Yahudi seluruh dunia seluruh dunia saling bantu membantu untuk melestarikan dan memajukan Negara Israel. Diantaranya yang menarik adalah solidaritas sebuah keluarga Yahudi mengurangi konsumsi gulanya per hari, agar uang penghematan gula itu dapat disumbangkan ke organisasi Yahudi.
Begitu juga kita ingat bagaimana solidaritas kaum Yahudi, Amerika dan sebagian negara Eropa yang melakukan pemboikotan besar-besaran terhadap rekening dan keuangan Hamas di luar negeri. Yakni ketika Hamas menang pemilu secara demokratis mengalahkan Fatah awal 2006. Dengan pemboikotan keuangan itulah akhirnya AS (dan kaum Yahudi) dapat memecah belah rakyat Palestina, karena Hamas menjadi kewalahan membayar pegawai, tentara dan menyejahterakan rakyatnya. Di samping juga karena pengkhianatan beberapa tokoh Palestina sendiri, yang menjadi antek Amerika-Yahudi untuk menyingkirkan Hamas dari pemerintahan.
Tentang maalah pengkhianatan yang dilakukan beberapa tokoh di negeri-negeri Islam itu diuraikan panjang lebar oleh Ustadz Al Amir Syakib Arsalan. Ia mengatakan: “Bangsa Perancis tetap bersikap keras dan kasar kepada umat Islam (Bangsa Barbar-Aljazair), lantaran bantuan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai orang-orang Islam dan ulama Islam, padahal mereka itu sesungguhnya perusak Islam. Sebab itu dapatlah dikatakan, bahwa bangsa Perancis menghancurbinasakan Islam itu dengan alat penggali yang ada di tangan anak-anak Negara Islam sendiri.” Rasyid Ridha menambahkan komentar: “Yang lebih ganjil dari semuanya itu, ialah orang-orang yang berkhianat itu, mereka menjual Negara mereka semuanya itu kepada bangsa asing dengan harga yang sangat rendah…Dan sekiranya mereka itu berusaha dengan ikhlas untuk menolak kemauan bangsa asing, niscaya bagi mereka akan dapat lebih banyak daripada yang diberikan bangsa asing itu.”
Allah SWT mengingatkan : “Dan tidaklah Tuhanmu akan membinasakan suatu negeri dengan kezaliman, jika memang benar-benar penduduknya orang-orang yang berbuat kebajikan (muslihun). ” (QS Hud: 117).
Rusaknya Ulama atau Pemimpin Umat
Setelah menyebutkan pentingnya jihad harta dan jiwa, Syekh Syakib Arsalan juga menyebutkan tentang sebab-sebab mundurnya umat Islam, yaitu kebodohan umat, akhlak yang buruk (termasuk di dalamnya sikap penakut, pengecut, cinta dunia dan takut mati), juga banyaknya ulama su’ (buruk). Tentang perilaku ulama yang buruk ini diuraikan secara panjang lebar. Bahkan ia menyatakan bahwa kebejatan moral dan kerusakan budi pemimpin Islam atau ulama ini adalah pokok permasalahan yang menyebabkan kemunduran Islam.
“Juga daripada sebesar-besar pokok yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran umat Islam, ialah kebejatan moral dan kerusakan budi para ketua atau para pemimpin mereka…Kemudian datanglah para ulama yang berperangai suka mendekatkan diri kepada para pejabat dan pemuka dalam pemerintahan atau para raja yang selalu dalam kesenangan kemewahan hidup. Yang suka bermain sendok garpu dalam kue-kue yang mereka makan, dengan memberikan fatwa kepada mereka itu (para raja dan pemegang kekuasaan) yang berarti membolehkan mreka membunuh orang yang berani mmberikan nasehat, meluruskan barang yang bengkok itu dengan alasan bahwa ia adalah seorang yang telah berani merusak ketaatannya dan telah berani keluar dari jamaahnya.
Padahal sebenarnya Islam telah memerintahkan kepada para ulama supaya berani bertindak meluruskan kebengkokan para raja, para pejabat dan para pemuka pemerintahan. Dan para ulama itu dahulu dalam pemerintahan Islam yang benar adalah bertempat di tempat kedudukannya yang sesuai dengan kewajibannya sebagai ulama, yang menurut cara sekarang sebagai wakil rakyat dalam majelis perwakilan rakyat. Mereka berkuasa atas seluruh umat, mengatur dan menguasai langkah para raja dan para wakil-wakilnya, mengeluarkan suara dan mengemukakan peringatan yang tegas pada waktu rajanya atau pemerintahnya akan berbuat aniaya atau durhaka dan berani mengemukakan nasehat serta menunjukkan jalan kepada pemerintahnya supaya menuju ke jalan yang benar, jalan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.”
Setelah buku karya Syekh Amir Sakib Arselan ini, juga muncul buku yang menarik dan lebih tebal dengan tema yang hamper mirip. Buku itu berjudul “Madzal Khasiral Alam Biinkhithathil Muslimin” (Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum Muslimin) karya Abul Hasan Ali an Nadwi. Buku ini mengalami cetak berulang-ulang dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, bahasa Inggris, Arab, Urdu, Indonesia dll dan mendapat sambutan yang luar biasa dari kalangan ulama maupun masyarakat biasa.
Dalam pengantarnya Sayyid Qutb misalnya menyatakan :
“Betapa butuhnya kaum Muslimin dewasa ini kepada orang yang sekiranya sanggup mengembalikan keutuhan iman ke dalam jiwa mereka, mengembalikan kepercayaan mereka kepada kekuatan yang tersimpan di dalam kejayaan masa lampau, dan memperteguh harapan mereka kepada hari depan yang cerah.
Betapa pula besarnya kebutuhan mereka orang yang sekiranya dapat mengembalikan kokohnya kepercayaan mereka kepada agama ini (Islam), yang namanya mereka junjung tinggi tetapi tidak dimengerti hakikat intinya. Agama yag lebih banyak mereka terima sebagai warisan daripada penerimaan mereka pengertian yang sedalam-dalamnya.
Buku yang ada di tangan saya ini, Kerugian Apa yang Diderita Dunia, dengan Kemerosotan Kaum Muslimin, tulisan as Sayid Abul Hasan Ali Hasan an Nadwi, adalah buku terbaik yang pernah saya baca mengenai pandangan-pandangan tersebut, baik dibanding dengan buku-buku yang lainnya maupun yang baru.
Islam adalah aqidah yang mengangkat derajat tinggi manusia. Salah satu diantara ciri khususnya adalah , bagi seorang mukmin ia melahirkan perasaan yang kuat dan mulia tanpa kesombongan, melahirkan semangat percaya pada diri sendiri tanpa membusungkan dada, dan melahirkan rasa tenteram tanpa pura-pura bertawakal. Aqidah Islam membuat kaum Muslimin merasa wajib menunaikan tugas kemanusiaan yang terpikul di atas pundak. Mereka wajib menunaikan amanat kepada segenap umat manusia di Timur dan di Barat. Merasa wajib melaksanakan tugas kepemimpinannya di bagian-bagian bumi yang masih sesat, untuk membimbingnya ke agama yang benar, ke jalan yang lurus, dan mengeluarkan dari kegelapan ke cahaya yang terang, cahaya hidayat dan Al Qur’an yang diturunkan Allah SWT :
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, memerintah kebajikan dan mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran 110).
“Dan demikian Kami telah menjadikan kalian sebagai umat yang adil, agar kalian menjadi saksi atasmanusia, dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas kalian.” (QS al Baqarah 143)
Kemudian Sayid Qutb, menulis tentang kelebihan buku an Nadwi ini dalam segi penjabaran sejarah Islam dan kritiknya terhadap sejarah Barat. “Orang-orang Eropa sudah cukup banyak menulis sejarah tentang Dunia menurut pandangan Barat. Sudah tentu mereka dipengaruhi oleh kebudayaan dan filsafat mereka yang bersifat kebendaan.
Dan tentu mereka dipengaruhi oleh fanatisme Barat dan fanatisme keagamaan, disadari atau tidak disadari. Karena itulah mereka sering terjerumus dalam kekeliruan dan penyelewengan-penyelewengan di saat menulis buku-buku sejarah. Hal itu disebabkan oleh kelengahan mereka terhadap nilai-nilai hakiki dalam kehidupan ini, yang sebenarnya hanya dengan nilai-nilai itu sajalah sejarah kehidupan manusia dapat dijamin kelurusannya dan penafsiran-penafsiran peristiwa dapat dijamin kebenarannya.”
Selain Sayid Qutb, Prof Dr Yusuf Musa juga memberikan pujian terhadap buku ini, sehingga ia menamatkan bacaannya kurang dari sehari. Dan ia katakan: “Membaca buku ini adalah wajib bagi setiap orang Muslim yang bekerja untuk memulihkan kembali kejayaan Islam.”
Yusuf Musa kemudian menukil tulisan an Nadwi sendiri : “Al Qur’an dan perilaku Muhammad saw adalah dua kekuatan luar biasa besarnya yang sanggup mengorbankan api semangat dan keimanan di dalam dunia Islam. Tiap saat dua-duanya dapat mencetuskan revolusi besar terhadap masa jahiliyah, dan akan membuat umat yang pasrah tidak berdaya, rendah diri dan mengantuk, menjadi umat yang kuat, berkobar semangatnya penuh dengan amarah dan kebenciannya terhadap kejahiliyahan dan system kehidupan yang bobrok. Salah satu penyakit yang melanda dunia Islam dewasa ini ialah rasa puas menerima kehidupan duniawi, merasa lega hidup di tengah-tengah keadaan yang serba rusak dan secara berlebihan menyia-nyiakan hidup.”
Dalam bukunya ini Syekh Hasan an Nadwi menguraikan secara rinci sebab-sebab kemunduran kaum Muslimin, sejarah kejayaan Barat terutama sejarah Romawi dan Persia dan obat agar kaum Muslimin mencapai kejayaan kembali. Patut diungkap di sini tentang kutipan an Nadwi dari Iqbal dalam bukunya Parlemen Iblis. Dalam bukunya itu Iqbal mengungkap bahwa setelah parlemen Iblis bersidang tentang tantangan-tantangan mereka ke depan terutama terhadap system republic dan sosialisme, akhirnya mereka berkesimpulan bahwa semua system itu tidak berbahaya. Kecuali Islam, yakni umat Islam apabila mereka sadar akan kehebatannya. Iblis dalam sidang parlemen itu menyatakan:
“Aku tahu, bahwa umat Islam dewasa ini sudah banyak yang meninggalkan Al Qur’an dan sekarang sedang dirangsang oleh harta kekayaan. Mereka sedang rindu ingin menimbun dan menyimpan harta sebanyak-banyaknya, sama seperti umat manusia lainnya. Aku tahu bahwa malam di Timur amat gelap gulita dan akupun tahu bahwa para ulama Islam dan para pemimpinnya tidak mempunyai tangan putih yang memancarkan sinar cahaya yang dapat menembus kegelapan dan menerangi dunia. Akan tetapi aku khawatir sekali kalau-kalau cobaan dan ujian yang sedang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini akan dapat membangkitkan mereka dari tidur dan mengarahkan mereka kembali kepada syariat Nabi Muhammad saw. Kalian kuperingatkan, bahwa agama adalah agama yang tangguh melindungi pusakanya, pengawal kehormatan dan penjaga keselamatannya, agama keluhuran dan kemuliaan, agama kejujuran dan kesucian, agama kemanusiaan dan kepahlawanan, agama yang sedang berjuang menghapuskan segala bentuk perbudakan, melenyapkan sisa-sisa penghambaan manusia oleh manusia. Agama yang tidak membeda-bedakan antara si Tuan dan Budak, agama yang tidak mengistimewakan antara yang yang berkuasa dan kaum yang sengsara, agama yang dengan zakat membersihkan harta dari noda dan kotoran hingga menjadi jernih dan murni, agama yang menjadikan para pemilik harta sebagai manusia-manusia yang memperoleh kepercayaan Allah dititipi kekayaan.Cobalah Anda renungkan mana ada revolusi atau perubahan kekuasaan yang lebih besar bahayanya daripada yang akan dicetuskan oeh agama itu pada saat sudah mengusai alam fikiran dan menjiwai amal perbuatan manusia? Yaitu pada saat manusia sudah mulai berteriak: Bumi ini adalah milik Allah bukan milik raja-raja atau sultan-sultan!
Oleh karena itu kalian harus mencurahkan segala kekuatan untuk membuat agama itu tetap jauh dari pandangan manusia. Kalian harus giat bekerja agar setiap muslim lemah kepercayaannya kepada Tuhan, dan tipis keyakinannya terhadap kebenaran agama Islam. Adalah lebih baik bagi kita setiap orang Muslim terus menerus sibuk dan tenggelam menekuni ilmu kalan atau ilmu-ilmu ketuhanan (teologi) lainnya. Biarkanlah mereka sibuk mentakwilkan kitab Allah dan ayat-aat suci seenak sendiri. Tutuplah telinga orang Muslim rapat-rapat, karena dengan gema azan dan kumandang takbir ia dapat menghancurkan jimat-jimat dan mantera-mantera di dunia serta sanggup menggagalkan sihir kita. Kalian harus bekerja keras agar setiap orang Muslim tidur nyenyak lebih lama dan agar kesanggupannya datang terlambat.
Hai teman-teman, buatlah supaya setiap orang Muslim tidak bekerja sungguh-sungguh dan bermalas-malas, agar ia tertinggal dalam perlombaan di dunia. Adalah sangat baik bagi kita bila setiap orang Muslim menjadi budak orang lain, meninggalkan menjauhi dunia ini serta menyerahkannya kepada orang lain. Alangkah celakanya kita kalau umat Islam karena dorongan agamanya akan sanggup mengawasi dan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran!”
Kemunduran Ilmu dan Pentingnya Universitas
Setelah Syekh Sakib Arselan dan Hasan an Nadwi, pemikir kontemporer Naquib al Attas menekankan penyebab utama kemunduran kaum Muslimin adalah kemunduran ilmu pengetahuan. Di sini al Attas memprioritaskan pentingnya universitas sebagai institusi utama yang darinya akan bermula revivalisme (kebangkitan) umat. Penekanan pada pendidikan tinggi, bukanlah dimaksudkan sebagai cermin pemikiran elitis, tapi sebagai intrepretasi yang benar terhadap hikmah ilahiah yang menjadikan pendidikan orang dewasa sebagai target utama dari misi semua Nabi. Universitas di semua Negara menjadi tempat individu-individu yang potensial dalam menjalani pendidikan dan latihan.
Menurut Prof Wan Daud, Guru Besar UKM Malaysia: “Yang sangat memprihatinkan, menurut pengetahuan saya, tidak ada seorang pun di dunia Muslim yang berusaha memberikan gambaran teoritis dan filosofis mengenai apa yang dimaksud universitas ideal menurut pandangan Islam maupun non Islam kecuali al-Attas. Sebaliknya di Barat, banyak karya tulis yang berusaha menjelaskan ide mengenai universitas ideal menurut pandangan keagamaan ataupun filsafat tertentu.”
Dalam suratnya ke Sekretariat Islam di Jeddah, Mei 1973, al Attas menulis: “Sebuah universitas Islam memiliki struktur yang berbeda dengan universitas Barat, konsep ilmu yang berbeda dari apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dan tujuan dan aspirasi yang berbeda dari konsepsi Barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk “manusia sempurna” atau “manusia universal” (insan kamil)…Seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.”
Ide al Attas tentang pentingnya universitas Islam ini dijabarkan pertama kalinya pada Konferensi Dunia Pertama Pendidikan Islam di Mekkah 1977 dan mengulasnya lagi dalam Konferensi Dunia kedua di Islamabad pada 1980. Dan kemudian al Attas mewujudkan sendiri ide universitas Islam itu dengan mendirikan ISTAC pada 4 Oktober 1991.
Wallahu aliimun hakiim. *
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/analisa/mengapa-kaum-muslimin-mundur.htm
Posted By : PKS Beringin DS