Prolog: Di tulisan sebelumnya, PW Muhammadiyah Aceh berpandangan, hadirnya "pengganggu" Syariat di Aceh karena khawatir, sukses di Aceh akan ditiru di daerah lain.
Mengubah Pola Pikir
Hidayatullah.com-- Kampanye dan aksi-aksi LSM liberal menolak penerapan Islam di Aceh ini sedikit mempengaruhi dan mengubah pola pikir masyarakat Aceh.
“Aksi LSM liberal ini membuat banyak masyarakat yang merasa takut akan syariat Islam, khususnya hukuman rajam. Padahal, kan pada prakteknya tidak mudah menghukum seseorang dengan hukuman rajam,” kata Hasanuddin.
Hukuman rajam bagi pezina, jelas Hasanuddin, harus menghadirkan empat saksi yang melihat pelaku melakukan hal tersebut.
“Makanya di zaman Nabi pun tidak ada orang yang dirajam karena kesaksian dari orang orang bahwa ia telah berzina. Justru di zaman Nabi lebih banyak orang dirajam karena ikrar, karena memang pengakuan langsung dan kesadaran mereka,” ungkap Hasanuddin kepad hidayatullah.com.
Lebih lanjut Hasanuddin mengatakan untuk memuluskan penyebaran faham liberalisme, banyak LSM-LSM liberal merekrut masyarakat Aceh sebagai tenaga kerjanya.
Setali Tiga Uang
Munarman, mantan aktivis HAM, memaparkan maraknya gangguan penerapan syariat Islam di Aceh yang dilakukan oleh LSM liberal ini memang tidak bisa lepas dari unsur bisnis.
“Kampenye toleransi, kebhinekaan, HAM, maupun kesetaraan gender adalah program yang banyak diminati lembaga donor internasional,” terangnya.
Bahkan, jelas Munarman, pasca Tsunami 2004 banyak bermunculan LSM yang menyuarakan keseteraan gender. Di antara LSM-LSM gender itu adalah: Jaringan Perempuan Untuk Keadilan (JARI), Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RpuK), Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI), Solidaritas Perempuan Aceh, Serikat ureung Inong Aceh (SeIA), Gugus Kerja Aceh (GKA), Flower Aceh, Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Yayasan Titah Madani Aceh (YTMA), Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), dan Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA).
Tahun 2010 sebuah LSM bernama Gerakan Perempuan Aceh sukses menyelenggarakan pemberian penghargaan bagi perempuan Aceh (Perempuan Aceh Award -red).
Hidayatullah.com ketika berkunjung ke Banda Aceh sempat melihat papan iklan perhelatan itu masih terpasang di beberapa sudut kota.
“Program maupun aksi yang mereka lakukan tujuannya ya untuk mencari uang,” tegas Munarman.
Pengalaman Munarman yang pernah menjadi Koordinator KontraS Aceh tahun 1999 ini memang membuatnya sedikit banyak tahu tentang asal dana LSM-LSM liberal.
“Ya, paling-paling dananya dari Kedubes AS, Yayasan TIFA milik Goerge Soros, dan Asia Foundation. Mereka itu setali tiga uang, satu guru satu ilmu. Saya tahu itu,” ungkapnya.
Akan tetapi, KontraS Aceh membantah jika sumber dana yang diperoleh untuk menunjang programnya berasal dari Amerika Serikat (AS). Kepada Hidayatullah.com, Hendra Fadil, Koordinator KontraS Aceh mengatakan jika sumber dana yang selama ini diperoleh lembaganya berasal dari negara-negara Uni Eropa.
“Sumber dana kami adalah yang tidak mengikat,” ujar Hendra.
Pasang-Surut
Sepuluh tahun formalisasi syariat bukanlah waktu yang singkat. Banyak pihak yang menilai penerapan syariat Islam di Aceh selama kurun waktu tersebut mengalami kemunduran.
Indikasi dari kemunduran itu, kata Teungku Muslim Ibrahim, dilihat dari masih sedikitnya qanun syariah yang diterbitkan. Sampai saat ini baru ada tujuh qanun yang disahkan. “Indikator lainnya adalah belum disahkannya Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat,” kata Muslim.
Meski demikian, mantan Kepala Dinas Syariat Provinsi Aceh, Al Yasa’ Abu Bakar menilai ada beberapa kemajuan. “Bidang zakat yang diatur dalam qanun Baitul Maal Aceh merupakan bidang yang mengalami kemajuan. Sekarang anak-anak yatim terjamin, biaya kesehatan masyarakat juga gratis,” kata Al Yasa.
Meski demikian, ia tidak memungkiri jika di bidang hudud, yakni hukuman bagi pelaku tindak pidana, mengalami kemunduran. * bersambung
Posted By : PKS Beringin DS