Peraih nobel ekonomi, Joseph E. Stiglitz di dalam bukunya Making Globalization Work (2006), mengilustrasikan sumber daya alam (SDA) yang berubah menjadi kutukan (resource curse) layaknya seseorang menemukan “berlian” di tengah ruangan. Rasa berkelimpahan mengkooptasi imajinasi, kreatifitas dan inovasi sehingga ia tak mampu mengolah apa yang dimilikinya. Tak mampu memberi nilai tambah (add value) menjadi perhiasan yang lebih berharga dan eksklusif. Dan itulah yang dipergunakan terus menerus.
Ilustrasi tersebut sangat relevan dengan bangsa kita. Melimpah sumber-sumber energi dengan beragam varian seperti gas alam, panas bumi, batu bara, uranium, dan minyak, namun tak mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis energi, utamanya bahan bakar. Bahan baku yang kita miliki telah dieksploitasi, dilelang kepada asing tanpa diberi nilai tambah hingga dihargai murah. Indonesia menjadi negeri yang hampir pailit.
Indonesia dan beberapa negara berkembang di Asia serta Afrika, menurut Stiglitz tak menikmati kekayaan alam negaranya. Dalam perspektif berbeda, Ian Bremmer (2011) menuding kapitalisme negara (state capitalism) sebagai biang keroknya. Karena negara dikelola layaknya korporasi (korporatokrasi), semua kebijakan berpatron pada termin bisnis. Logika untung dan rugi yang bermuara pada kepentingan kapital penguasa. Artinya, kekayaan sumber daya alam dilihat sebagai komoditas.
Penulis berkeyakinan, jika rencana menaikkan harga BBM (utamanya premium) sebesar Rp1.500 per liter benar-benar direalisasikan, maka mudharat yang dituai akan lebih besar dari pada manfaatnya yang diraih. Untuk jangka panjang, hanya akan membebani ekonomi masyarakat.
Telah menjadi cerita klasik setiap kali kenaikan harga BBM, maka semua harga kebutuhan masyarakat ikut tergerek naik. Baik itu karena memang kebutuhan tersebut berkorelasi dengan kenaikan biaya transportasi, ataupun hanya ulah nakal para spekulan yang memanfaatkan kesempatan meraup untung. Naiknya harga BBM berdampak ganda (multiple effect).
Dalam kalkulasi ekonomi, meminjam data Reforminer Institute, kenaikan BBM bisa menyebabkan tambahan inflasi hingga 2,14 persen (menjadi sekitar 7 persen). Inflasi sudah barang tentu menggangu performance ekonomi nasional. Daya beli masyarakat menurun sebagai akibat dari naiknya harga-harga barang. Permintaan (demand) pasti ikut terkoreksi sehingga income industry barang dan jasa terkait, mengalami penurunan. Efeknya, untuk efisiensi dan menghindari over stock, industri terpaksa menurunkan produksi mereka. Hal ini tentu menyebabkan berkurangnya kebutuhan dan permintaan tenaga kerja sehingga bisa berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PKH) dan moratorium penerimaan tenaga kerja yang berarti masalah sosial baru, pengangguran. Lebih jauh, menurunnya income perusahaan juga berpengaruh pada penerimaan kas negara dari sektor pajak.
Angka kemiskinan juga semakin bertambah seiring limitasi akses masyarakat pada faktor-faktor produksi yang menyebabkan produktifitas mereka menurun. Kelompok penduduk kategori hampir miskin yang berjumlah 27,8 juta jiwa akan terseret ke jurang kemiskinan. Selama ini kelompok penduduk hampir miskin bertahan dari jerat kemiskinan dengan mengandalkan pekerjaan pada sektor non formal. Padahal, kenaikan harga BBM justru akan memukul sektor non formal ini (selain menyebabkan harga-harga naik). Menurut BPS, pangan dan rokok berperan besar dalam memengaruhi kemiskinan di Indonesia. Kenaikan harga beras menyebabkan penduduk miskin bertambah sebesar 25,45% untuk perkotaan dan 32,81% di pedesaan. Artinya akan ada orang miskin baru di negeri ini yang diakibatkan oleh kebijakan tak pro rakyat, menaikkan harga BBM.
Sementara kompensasi dalam skema bantuan langsung tunai, tidak efektif untuk meringankan beban rakyat. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sifatnya jangka pendek, tak mungkin terus menerus diterapkan. Pemberian kompensasi bahkan justru menjadi sketsa paradoks kebijakan kenaikan BBM yang tujuan awalnya untuk menyelamatkan anggaran dari pembengkakan. Berikut penjelasannya.
Dari hasil simulasi Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute Jika kompensasi kenaikan BBM diberikan kepada 29,89 juta jiwa penduduk miskin dan 27,8 juta jiwa penduduk hampir miskin masing-masing sebesar Rp150.000,00, per bulan sebagaiamana dikatakan Menteri ESDM, maka negara harus merogoh aggaran sebesar Rp8,65 triliun setiap bulan atau sebesar Rp103,8 triliun setiap tahun. Jikapun pemerintah hanya memberikan per kepala keluarga, sangat tidak masuk akal Rp150.000,00 cukup memenuhi kebutuhan 4 orang anggota keluarga dalam sebulan.
Salah seorang rekan yang menjadi petugas lapangan di daerah Depok dalam pendataan dan penyaluran BLSM mengatakan bahwa pemerintah menemukan data, jika di daerah Depok untuk kebutuhan non pangan seperti transportasi, listrik dan pemukiman standarnya sekitar Rp56,000 perhari. Sementara untuk kebutuhan makanan pokok sebesar Rp6.000 per hari per orang. Artinya setiap orang membutuhkan Rp62.000 per hari atau Rp1.860.000 perhari.
Jikapun pemerintah memberi kompensasi dengan hitungan per kepala sebesar Rp150.000, selain tidak rasional memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, juga akan lebih boros ketimbang mempertahakan harga (subsidi) BBM pada harga saat ini. Karena menaikkan harga minyak sebesar Rp. 1.500,00 per liter hanya menghemat Rp57,45 triliun.
Tidak efektifnya kebijakan kompensasi juga disebabkan oleh potensi korupsi yang membayangi karena buruknya birokrasi kita. Bahkan, kompensasi tersebut juga hanya menjadi alat pencitraan politik penguasa jelang pemilu 2014. Partai berkuasa memanfaatkan mencitrakan diri sebagai partai pro rakyat. Kebijakan tersebut juga tak menyelesaikan akar persoalan.
Ketika kali ini pola serupa masih ditempuh, maka tak menutup kemungkinan di waktu-waktu mendatang kita akan kembali bergelut dengan masalah serupa karena kebijakan yang diambil tidak solutif dan tidak menyentuh akar masalah. Kebijakan menaikkan harga dan kompensasi sifatnya jangka pedek (short term policy).
Solusi Kongkrit
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membaca persoalan BBM ini secara komprehensif dan menawarkan solusi jangka panjang (long term policy). Ada beberapa tawaran solusi yang sifatnya jangka panjang.
Pertama, diversifikasi bahan bakar. Data dari BP Migas mengatakan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia hanya 4 miliar barel dan akan habis dalam jangka 12 tahun kedepan. Artinya jika masih bergantung pada BBM, maka pada tahun 2024 Indonesia 100 persen menggunakan BBM impor yang pasti akan sangat mahal karena mengacu pada harga pasar minyak internasional
Pemerintah seharusnya mengoptimalkan sisa waktu untuk mendorong riset pengembangan bahan bakar non minyak. Banyak alternatif sumber energi, seperti panas bumi (geothermal), gas alam, bioetanol, biodiesel, panel surya, bahkan dengan menggunakan air seperti temuan siswa SMK Langsa, Aceh.
Untuk memanfaatkan energi alternatif tersebut, tentu butuh SDM yang handal. Salah satu cara melahirkan SDM kompetitif di bidang energi adalah dengan menggalakkan riset agar ada temuan-temuan baru atau mematangkan temuan yang telah ada. Namun hasanya, ternyata anggaran riset juga tidak mendukung. Hanya 0,08 persen dari PDB. Maka anggaran riset yang sangat sangat kecil tersebut harus diungkit.
Kedua, pemerintah harus tegas kepada pengguna mobil pribadi yang selama ini menikmati 45,72 persen dari 99,40 persen konsumsi BBM bersubsidi angkutan darat (Data BP Migas dan Pertamina, 2011). Para pengguna mobil pribadi yang umumnya berasal dari kelas menengah atas ini perlu dibuatkan regulasi yang mewajibkan penggunaan BBM non subsidi.
Ketiga, untuk mengurangi konsumsi BBM kendaraan roda dua yang banyak digunakan masyarakat ekonomi menengah bawah beraktifitas sehari-hari, maka perlu disiapkan sarana transportasi umum (massal) yang cepat, nyaman dan murah. Pengguna sepeda motor dengan konsumsi BBM sebesar 38,76 persen adalah akibat tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai sehingga masyarakat menggunakan kendaraan roda dua.
Pada akhirnya, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan kebutuhan mendasar masyarakat, harus dipertimbangkan kembali. Jangan sampai pemerintah mengelolah negara dengan mindset bisnis. Sama dengan cara mengelola perusahaan (korporatokrasi).
Subsidi kepada rakyat jangan dipandang merugikan sehingga menjadi apologi pemerintah untuk lepas tangan, hanyut oleh mainstream ekonomi neoliberal dengan mengikuti trend harga minyak dunia yang terus melonjak. Karena mengorbankan rakyat sama saja jika negara tak dirasakan kehadirnnya. Tak mampu mengintervensi sektor ekonomi sesuai hajat hidup bersama. Artinya, kita hidup bagai di negeri otopilot. Dimana rakyat berjuang sendiri untuk survive.
Jusman Dalle
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Posted By : PKS Beringin DS