Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara tegas dan lugas menolak rencana pemerintah menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) karena bisa menimbulkan konflik sosial dan menyengsarakan rakyat.
"Fraksi PKS bertahan untuk penolakan kenaikan BBM. Potensi terciptanya konflik sosial itu besar," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Anis Matta, Jakarta, Rabu (29/2/2012).
Belum dinaikkan saja, harga-harga kebutuhan bahan pokok sudah ada yang naik. Menurutnya, antisipasi kenaikan harga minyak dunia yang terus merangkak naik bisa dilakukan dua tahun lalu.
Namun, karena manajemen fiskal pemerintah tidak beres, pemerintah tidak memiliki opsi lain. Padahal, kenaikan harga BBM dinilai sama saja mengalihkan beban ke masyarakat.
Anis menegaskan masih ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah tanpa menghapus subsidi BBM seperti menghentikan pemborosan dalam anggaran pemerintah. "Kebocoran anggaran masih besar sampai sekarang. Sebenarnya masih banyak yang di lakukan. Bisa mengaduk-aduk subsidi lain," jelasnya.
Sebagaimana diberitakan, dalam rapat kerja Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Gedung DPR Jakarta, kemarin, Fraksi PKS menolak opsi yang diajukan pemerintah perihal kenaikan BBM.
Rencana pemerintah mengimbangi kenaikan harga BBM dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), dinilai cuma akan membuat masyarakat malas.
Hal itu ditegaskan Ahli perminyakan Dr Kurtubi, "BLT bukan solusi terbaik untuk meringankan beban masyarakat akibat kenaikan BBM, justru itu akan membuat masyarakat malas," tutur Kurtubi.
Menurut Kurtubi, lebih baik uang untuk BLT digunakan untuk membuka lapangan kerja baru, misalnya untuk membangun jalan di desa dan dikerjakan dengan program padat karya.
Politikus Partai Dmokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, Rieke Diah Pitaloka, menyatakan program pemerintah memberikan BLT sebagai kompensasi hanya sebagai bentuk pencitraan pemerintah dan pembodohan publik.
"BLT sebagai kompensasi dari kenaikan BBM hanya sebagai pencitraan dari pemerintah. BLT itu dari mana? Kalau hasil utang maka harus dibayar, lalu pakai uang siapa? Ya dari uang rakyat, itu pembodohan publik. Nanti kan yang membayar juga rakyat, itu hanya pencitraan," ucapnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua DPR Anis Matta. Pilihan pemerintah memberikan BLT sebagai kompensasi yang sudah mulai direncanakan hanya sebagai bentuk kampanye oleh pemerintah.
"BLT hanya sebagai kampanye sedangkan harga bahan pokok kebutuhan masyarakat pasti akan naik," tutur Anis yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kepada Wartawan di DPR, Jakarta, Rabu (29/2/2012).
Anis menilai pemerintah harusnya dapat lebih cerdas dalam menghadapi persoalan, pasalnya kenaikan BBM ini bisa diantisipasi sejak dua tahun lalu. "Pemerintah harusnya dapat lebih cerdas. Kita tidak mau ikut ambil resiko kepada rakyat, kenaikan BBM tidak hanya membuat kenaikan harga tapi bisa terciptanya konflik sosial," tandasnya.
"Fraksi PKS bertahan untuk penolakan kenaikan BBM. Potensi terciptanya konflik sosial itu besar," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Anis Matta, Jakarta, Rabu (29/2/2012).
Belum dinaikkan saja, harga-harga kebutuhan bahan pokok sudah ada yang naik. Menurutnya, antisipasi kenaikan harga minyak dunia yang terus merangkak naik bisa dilakukan dua tahun lalu.
Namun, karena manajemen fiskal pemerintah tidak beres, pemerintah tidak memiliki opsi lain. Padahal, kenaikan harga BBM dinilai sama saja mengalihkan beban ke masyarakat.
Anis menegaskan masih ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah tanpa menghapus subsidi BBM seperti menghentikan pemborosan dalam anggaran pemerintah. "Kebocoran anggaran masih besar sampai sekarang. Sebenarnya masih banyak yang di lakukan. Bisa mengaduk-aduk subsidi lain," jelasnya.
Sebagaimana diberitakan, dalam rapat kerja Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Gedung DPR Jakarta, kemarin, Fraksi PKS menolak opsi yang diajukan pemerintah perihal kenaikan BBM.
Rencana pemerintah mengimbangi kenaikan harga BBM dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), dinilai cuma akan membuat masyarakat malas.
Hal itu ditegaskan Ahli perminyakan Dr Kurtubi, "BLT bukan solusi terbaik untuk meringankan beban masyarakat akibat kenaikan BBM, justru itu akan membuat masyarakat malas," tutur Kurtubi.
Menurut Kurtubi, lebih baik uang untuk BLT digunakan untuk membuka lapangan kerja baru, misalnya untuk membangun jalan di desa dan dikerjakan dengan program padat karya.
Politikus Partai Dmokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, Rieke Diah Pitaloka, menyatakan program pemerintah memberikan BLT sebagai kompensasi hanya sebagai bentuk pencitraan pemerintah dan pembodohan publik.
"BLT sebagai kompensasi dari kenaikan BBM hanya sebagai pencitraan dari pemerintah. BLT itu dari mana? Kalau hasil utang maka harus dibayar, lalu pakai uang siapa? Ya dari uang rakyat, itu pembodohan publik. Nanti kan yang membayar juga rakyat, itu hanya pencitraan," ucapnya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua DPR Anis Matta. Pilihan pemerintah memberikan BLT sebagai kompensasi yang sudah mulai direncanakan hanya sebagai bentuk kampanye oleh pemerintah.
"BLT hanya sebagai kampanye sedangkan harga bahan pokok kebutuhan masyarakat pasti akan naik," tutur Anis yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kepada Wartawan di DPR, Jakarta, Rabu (29/2/2012).
Anis menilai pemerintah harusnya dapat lebih cerdas dalam menghadapi persoalan, pasalnya kenaikan BBM ini bisa diantisipasi sejak dua tahun lalu. "Pemerintah harusnya dapat lebih cerdas. Kita tidak mau ikut ambil resiko kepada rakyat, kenaikan BBM tidak hanya membuat kenaikan harga tapi bisa terciptanya konflik sosial," tandasnya.
Kenaikan BBM dan Pemberian BLT Tidak Berdampak Pada Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
DR Andi Irawan seorang ekonom Indonesia mengingatkan dampak kenaikan BBM berkaca pada pengalaman tahun-tahun lalu. Dalam tulisannya DR Andi Irawan menyatakan...
Mari kita lihat dari pengalaman beberapa tahun sebelumnya ketika pemerintah menaikkan harga BBM bahkan pernah lebih dari 100% (pada bulan Oktober 2005). Ternyata setelah kebijakan itu diambil tidak ada indikasi yang nyata bahwa dengan menaikan harga BBM berdampak terhadap semakin bernasnya fungsi negara yang bisa dinikmati oleh rakyat khususnya rakyat miskin. Benar, Secara agregat angka-angka kuantitatif makro ekonomi memang menggembirakan. Perekonomian Indonesia ternyata mampu tumbuh 5-6,5% per tahun sejak Kabinet Indonesia bersatu I. Tak cuma itu. Saat ini pendapatan per kapita kita sudah mencapai Rp30,8 juta (US$3.542,9).
Tetapi benarkah pertumbuhan itu dinikmati merata seluruh warga bangsa? Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per September 2011 yang menyatakan bahwa terdapat 591.890 rekening premium di perbankan Indonesia dengan isi Rp. 500 juta ke atas dengan total 1.750,07 triliun. Terjadi pelonjakan dalam sebulan dibandingkan pada Agustus 2011 yang hanya sebanyak 577.600 dengan isi Rp. 1.654 triliun. Bandingkan dengan jumlah belanja negara dalam APBN RI2012 yang hanya lebih kurang Rp 1.435 triliun. Artinya angka-angka pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang yang jumlahnya tidak mencapai 1 juta orang dari penduduk Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin cuma berkurang 130 ribu atau 0,13%. Penurunan 0,13% tersebut tetap amat tidak signifikan karena dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional pemerintah menargetkan penurunan orang miskin 1% tiap tahun.
Kenaikan harga BBM hanya menguntungkan pemerintah karena beban APBNnya menjadi longgar dan menguntungkan segelintir BUMN, konglomerat dan pengusaha yang bergerak dipertambangan sumber energi subsitusi BBM seperti gas bumi dan batu bara karena harga domestiknya menjadi semakin kompetitif dengan naiknya harga BBM.
Banyak hal yang perlu ditelaah dan dikoreksi berkaitan dengan permasalahan BBM ini sehingga benar-benar tuntutan konstitusi bahwa bumi air dan udara adalah dimiliki negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat itu hadir.
Hari ini 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai asing. Dan hasilnya 90 persen dikirim dan dinikmati oleh negara lain khususnya negara maju.
Belum lagi kalau kita bicara tentang kontrak bagi hasil dan cost recovery usaha-usaha pertambangan asing yang sangat merugikan negara.
Posted By : PKS Beringin DS