Assalamu'alaikum, Selamat Datang di Blog Resmi DPC PKS Beringin Deli Serdang - Provinsi Sumatera Utara. www.pks-beringin.blogspot.com. Jika ada pertanyaan dan saran harap di kirimkan ke Email DPC PKS Beringin di.. pks.beringin.deliserdang@gmail.com

Senin, 12 Maret 2012

Senin, 12 Maret 2012

Syarah Bulughul Maram (2)



Oleh: Farid Nu’man Hasan

Kitabuth Thaharah – Babul Miyah
Hadits 2:
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ – أَخْرَجَهُ اَلثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu yang bisa menajiskannya.” Dikeluarkan oleh Ats Tsalatsah (tiga imam: Abu Daud, At Tirmidzi, dan An Nasa’i), dan dishahihkan oleh Imam Ahmad.
Takhrij:
- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 66, 67
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 66
- Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 326
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 1/29
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No.11119
- Imam Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 2155
- Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 1513
- Imam ‘Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 255
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 2/61
- Imam Ibnu Jarud dalam Al Muntaqa No. 47
- Imam Ath Thabari dalam Tahdzibul Atsar No. 2051
Status Hadits:
- Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, Imam Yahya bin Ma’in, dan Imam Ibnu Hazm.” (Talkhish Al Habir, 1/125-126)
- Imam At Tirmidzi mengatakan: “hasan.” (Sunan At Tirmidzi No. 66)
- Imam Al Baghawi mengatakan: “hasan shahih.” (Syarhus Sunnah, 2/61)
- Imam An Nawawi mengatakan: “shahih.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/82)
- Imam Al Bushiri mengatakan: “hasan.” (Ittihaf Al Khairah No. 416)
- Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri berkata: “sanadnya jayyid.”(Tuhah Al Ahwadzi, 1/170)
- Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih bithuruqihi wa syawahidihi – shahih karena banyak jalan dan penguatnya.” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 11119)
- Syaikh Al Albani mengatakan: ”shahih.” (Al Irwa’ No. 14, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 67, Shahihul Jami’ No. 1925, dll)
Latar Belakang Hadits:
Disebutkan dalam Sunan Abi Daud dan lainnya, sebagai berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Apakah kami boleh berwudhu dari sumur budhaa’ah, yaitu sumur yang kemasukan Al Hiyadh, daging anjing, dan An Natnu (bau tidak sedap).” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Air itu adalah suci, tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” (HR. Abu Daud No. 67, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 1513, Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 2/61, dll)
Kandungan Hadits:
1. Tentang Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu. Imam Adz Dzahabi Rahimahullah bercerita –kami ringkas- sebagai berikut:
“Dia adalah Al Imam Al Mujahid, muftinya kota Madinah, namanya Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa’alabah bin ‘Ubaid bin Al Abjar bin ‘Auf bin Al Haarits bin Al Khazraj. Ayahnya (Malik) mati syahid ketika perang Uhud, dan dirinya sendiri ikut perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan (Bai’at di bawah pohon). Dia adalah salah satu ahli fiqih dan mujtahid.
Hanzhalah bin Abi Sufyan meriwayatkan dari guru-gurunya, bahwa tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui hadits-hadits para sahabat nabi dibanding Abu Sa’id Al Khudri.
Al Waqidi dan jamaah mengatakan, Abu Sa’id Al Khudri wafat tahun 74 H. Ismail Al Qadhi berkata: Aku mendengar Ali bin Al Madini mengatakan bahwa Abu Sa’id wafat tahun 63 H.
Musnad Abu Sa’id terdapat 1170 hadits. Pada Bukhari dan Muslim terdapat 43 hadits. Pada Bukhari saja ada 16 hadits, pada Muslim saja ada 52 hadits.” (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 3/168-172)
2. Ada beberapa istilah khusus yang perlu dijelaskan.
Pertama. Al Hiyadh – الْحِيَضُ adalah –sebagaimana dijelaskan Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah:
الحيضُ- بكسر الحاء، وفتح الياء-: جمع حيْضة- بكسر الحاء، وسكون الياء-، وهي: خرقة الحيض، ويقال لها أيضاً المحيضة، وتجمع على المحايض
Al Hiyadh –dengan huruf ha dikasrahkan dan huruf ya difathahkan adalah jamak dari hiidhah –dengan ha dikasrahkan dan ya disukunkan- itu adalah harqatul haidh (pembalut haid). Juga disebutkan artinya adalah Al Mahiidhah, dan dijamakkan menjadi Al Mahaayidh. (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 1/198. Maktabah Ar Rusyd)
Kedua. An Natnu –النَّتْنُ – artinya:
” والنتْنُ ” الرائحة الكريهة، ويقع أيضاً على كل مستقْبح
An Natnu adalah Ar Raa-i-ah Al Kariihah (aroma yang tidak sedap), dan juga bisa berarti setiap hal yang buruk. (Ibid)
Ketiga. Istilah أخرجه الثلاثة – dikeluarkan/diriwayatkan oleh tiga orang imam. Apa maksudnya?
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:
هم أصحاب السنن، ما عدا ابن ماجه
Mereka adalah ashhabus sunan (para penyusun kitab As Sunan), selain Ibnu Majah. (Subulus Salam, 1/16. Maktabah Mushthafa Al Baabi Al Halabi)
Mereka adalah Abu Daud, At Tirmidzi, dan An Nasa’i, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya.
3. Pada hadits ini menyebutkan bahwa hukum dasar bagi air adalah suci, tidak ada sesuatu pun yang bisa mengubahnya menjadi najis, walau dia terkena benda-benda yang dianggap najis seperti daging anjing, darah haid, dan sesuatu yang berbau, selama tidak mengubah sifat-sifat kesuciannya. Tentunya, apalagi ketika tidak diketahui adanya benda-benda yang mencampurinya, maka kesuciannya bisa dipastikan lagi. Dan, ini menjadi pendapat Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu.
Berikut ini keterangannya:
وبهذا الحديث استدل مالك على أن الماء لا يتنجس بوقوع النجاسة- وإن كان قليلاً- ما لم تتغير أحد
أوصافه.
Dengan hadits ini, Imam Malik berdalil bahwa sesungguhnya air tidak menjadi najis dengan terkenanya dia dengan najis –jika air itu sedikit- selama salah satu sifatnya belum berubah. (Ibid)
4. Sebagian ulama mengatakan bahwa, hadits ini hanya berlaku khusus bagi sumur Budhaa’ah, tidak bagi lainnya, karena latar belakang hadits ini memang sedang membicarakan sumur tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya air pada sumur Budhaa’ah yang melebihi dua qullah.
Berkata Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri:
فتأويله إن الماء الذي تسألون عنه وهو ماء بئر بضاعة فالجواب مطابقى لا عموم كلي كما قاله الامام مالك انتهى وإن كان الألف واللام للجنس فالحديث مخصوص بالإتفاق كما ستقف ( لا ينجسه شيء ) لكثرته فإن بئر بضاعة كان بئرا كثيرا الماء يكون ماؤها أضعاف قلتين لا يتغير بوقوع هذه الأشياء والماء الكثير لا ينجسه شيء ما لم يتغير
Ta’wilnya adalah bahwa air yang kalian tanyakan adalah air sumur Budhaa’ah, maka jawabannya adalah bukan untuk umum sebagaimana dikatakan Imam Malik. Selesai. Jika Alif dan Lam (pada kata Al Maa’/air) menunjukkan jenis, maka hadits ini adalah spesifik (khusus) menurut kesepakatan sebagaimana Anda lihat (tidak ada sesuatu yang menajiskannya) karena banyaknya, sesungguhnya sumur budhaa’ah adalah sumur yang banyak airnya, lebih dari dua qullah, maka terkena semua hal ini tidaklah merubahnya, dan air yang banyak tidaklah menjadi najis karena sesuatu selama belum terjadi perubahan. (Tuhfah Al Ahwadzi, 1/170. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Hadits 3:
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Abu Umamah Al Baahili Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya, kecuali yang bisa mengubah baunya, rasanya, dan warnanya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, dan didhaifkan oleh Abu Hatim.
Takhrij Hadits:
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 521
- Imam At Thabari dalam Tahdzibul Atsar No. 2078
- Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 26652
- Imam Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah No. 1856
Status Hadits:
- Sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Hajar hadits ini didhaifkan oleh Imam Abu Hatim.
- Imam An Nawawi berkata: “Dhaif, tidak sah berhujjah (berargumentasi) dengannya, mereka (para ulama) telah sepakat atas kelemahannya.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/110)
- Imam Ibnul Mulqin berkata: “Pada sanadnya terdapat Risydin bin Sa’ad, para ulama mendhaifkannya, tetapi Ahmad berkata: saya harap dia shalihul hadits (haditsnya baik).” (Tuhfatul Muhtaj, 1/144)
- Imam Asy Syafi’i juga mengisyaratkan kedhaifan hadits ini. (Khulashah Al Badru Al Munir, 1/8)
- Imam Al Haitsami mengatakan: “Dalam sanadnya terdapat Risydin bin Sa’ad, dan dia dhaif. “ (Majma’ Az Zawaid, 1/502)
- Imam Az Zaila’i mengatakan: “Hadits ini dhaif.” (Nashbur Rayyah, 1/94)
Kandungan Hadits:
1. Tentang Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu ‘Anhu.
Imam Amir Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:
Namanya Shudda, ayahnya adalah ‘Ajlan. Al Baahili dinisbatkan kepada Al Baahilah yang artinya kaum. Ibnu Abdil Bar mengatakan tidak ada perbedaan pendapat tentang nama Beliau dan ayahnya. Beliau tinggal di Mesir, lalu pindah ke Himsh. Beliau termasuk yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disebutkan bahwa dia wafat usia 86 tahun. Disebutkan pula bahwa Beliau adalah sahabat yang terakhir yang wafat di Syam. (Lihat Subulus Salam, 1/18)
2. Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Abu Hatim mendhaifkan hadits ini. Maka, ada dua keterangan yang mesti diketahui:
Pertama, siapakah Imam Abu Hatim? Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah –kami ringkas:
Dia adalah Al Imam, Al Haafizh, An Naaqid (ahli kritik), gurunya para ahli hadits, Al Hanzhali (keturunan Hanzhalah), Al Ghatafani (suku Ghatafan), dia berasal dari Tamim bin Hanzhalah bin Yarbu’. Disebutkan juga, dikenal Al Hanzhali karena dahulu dia tinggal di daerah Hanzhalah, di kota Ar Ray.
Dia adalah lautan ilmu, lahir tahun 195H. Al Khathib berkata: “Abu Hatim adalah salah satu imam di antara para Huffaazh yang kokoh.” Ali bin Ibrahim Al Qaththan mengatakan: “Aku belum pernah melihat yang seperti Abu Hatim.” Imam An Nasa’i mengatakan: “terpercaya.” Hibbatullah Al Lalika’i mengatakan: “Abu Hatim adalah imam, hafizh, dan tsabit (kokoh).” (Lengkapmya lihat Siyar A’lamin Nubala, 13/247-266)
Kedua, apakah hadits dhaif? Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
وهو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح، ولا صفات الحسن المذكور
Yaitu hadits yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat hadits shahih, tidak pula hadits hasan, sebagaimana disebutkan. (Al Baa’its Al Hatsits, Hal. 5)
Hadits dhaif memiliki berbagai jenis: maudhu’ (palsu), matruk (ditinggalkan), maqlub (terbalik), munqathi’ (terputus sanadnya), syadz (janggal), mudhtharib (guncang), mursal (serupa dengan munqathi’), mu’allaq (tidak disebutkan sanadnya), dan lainnya. Semua ini dibahas dalam kitab-kitab musthalahul hadits atau ‘ulumul hadits. Wallahu A’lam
3. Hadits ini menunjukkan bahwa air pada awalnya suci sebagaimana penjelasan hadits kedua, kecuali jika air itu terkena benda najis yang bisa mengubah sifat-sifat air suci, maka dia menjadi najis.
Bukankah hadits ini dhaif dan tidak bisa dijadikan dalil? Dalilnya adalah ijma’, bukan karena hadits ini. Hal ini dijawab oleh Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:
وقال النووي: اتفق المحدثون على تضعيفه، والمراد تضعيف ورواية الاستثناء، لا أصل الحديث، فإنه قد ثبت في حديث بئر بضاعة، ولكن هذه الزيادة قد أجمع العلماء على القول بحكمها. قال ابن المنذر: قد أجمع العلماء: على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت له طعماً، أو لوناً، أو ريحاً فهو نجس، فالإجماع هو الدليل على نجاسة ما تغير أحد أوصافه، لا هذه الزيادة.
Berkata An Nawawi: “Para muhadditsin telah sepakat atas kelemahan hadits ini,” yang dimaksud lemah adalah riwayat yang menunjukkan pengecualiannya (yaitu kalimat: kecuali yang bisa mengubah baunya, rasanya, dan warnanya, pen), bukan hadits asalnya, sebab telah shahih hadits tentang sumur Budhaa’ah (hadits kedua, pen), tetapi tentang tambahan ini, para ulama telah ijma’ (konsensus) untuk berpendapat dengan hukum yang ada padanya. Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, dan aroma, maka dia menjadi najis.” Maka, ijma’ adalah merupakan dalil atas kenajisan sesuatu yang telah berubah salah satu sifat-sifatnya, bukan berdalil pada kalimat tambahan hadits ini. (Subulus Salam, 1/19)
Jadi, pendapat tentang najisnya air yang telah berubah rasa, warna, dan aroma, adalah bukan berdasarkan hadits ini karena dia dhaif, tetapi berdasarkan ijma’, dan ijma’ merupakan salah satu sumber hukum Islam.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَلَالَةٍ
Sesungguhnya Allah tidak akan meng-ijma’kan umatku –atau dia berkata: umat Muhammad- di atas kesesatan. (HR. At Tirmidzi No. 2167. Al Hakim No. 397, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 1848)
Oleh karenanya berkata Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
الْإِجْمَاعُ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْفُقَهَاءِ وَالصُّوفِيَّةِ وَأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْكَلَامِ وَغَيْرِهِمْ فِي الْجُمْلَةِ وَأَنْكَرَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنْ الْمُعْتَزِلَةِ وَالشِّيعَةِ
“Ijma’ telah menjadi kesepakatan antara umumnya kaum muslimin, baik dari kalangan ahli fiqih, sufi, ahli hadits, dan ahli kalam, serta selain mereka secara global, dan yang mengingkarinya adalah sebagian ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah.” ( Majmu’ Fatawa, 3/6. Mawqi’ Al Islam)
Al Imam Al Hafizh Al Khathib Al Baghdadi Rahimahullah beliau berkata:
“Ijma’ ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu di antara hujjah-hujjah Syara’ dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan benarnya”. (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/154)
Hadits 4:
وَلِلْبَيْهَقِيِّ: – اَلْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ; بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيه
Dalam riwayat Imam Al Baihaqi: “Air itu suci, kecuali telah berubah aromanya, rasanya, dan warnanya, karena jatuhnya najis padanya.”
Takhrij Hadits:
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1159, dari Abu Umamah Al Baahili juga
Status Hadits:
- Imam Ad Daruquthni mengatakan: “Hadits ini tidak kuat.” (Subulus Salam, 1/19)
- Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Tharifi mengatakan: “Tidak shahih dari nabi.” (Syarh Bulugh Al Maram, Hal. 33)
Hadits ini dhaif karena dalam sanadnya terdapat Baqiyah bin Al Walid seorang yang dikenal sebagai mudallis (suka menggelapkan sanad dan/atau matan), dan dia meriwayatkan secara ‘an’anah (yaitu hadits yang diriwayatkan dengan kata ‘an fulan (dari fulan), yang menunjukkan keterputusan sanadnya). (Lihat Bulughul Maram, Hal. 4, cat kaki No. 3. Maktabah Al Misykah)
Kandungan hadits:
1. Tentang Imam Al Baihaqi Rahimahullah. Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:
هو: الحافظ العلامة شيخ خراسان، أبو بكر أحمد بن الحسين، له التصانيف التي لم يسبق إلى مثلها: كان زاهداً ورعاً تقياً، ارتحل إلى الحجاز والعراق. قال الذهبي: تاليفه تقارب ألف جزء
Di a adalah seorang Al Haafizh Al ‘Allamah (luas ilmunya), seorang syaikh (guru) di Khurasan. Namanya adalah Abu Bakar Ahmad bin Al Husain, memiliki banyak karya yang belum ada seperti karyanya. Dia seorang yang zuhud, wara’, dan taqwa. Melakukan perjalanan ke Hijaz dan Iraq. Berkata Adz Dzahabi: “Karya-karyanya mendekati 1000 juz.” (Subulus Salam, 1/18)
2. Hadits ini secara makna sama dengan hadits ketiga, tetapi juga sama dhaifnya. Oleh karenanya tidaklah berhujjah dengan hadits ini, tetapi berhujjah dengan ijma’ sebagaimana penjelasan sebelumnya.
Bersambung …. Wallahu A’lam

Sumber : http://faridnuman.blogspot.com/2012/03/syarah-bulughul-maram-2.html

Posted By : PKS Beringin DS

 

"Terima Kasih Atas Kunjungannya dan Sebelumnya Meminta Maaf, Apabila ada Kesalahan dan Kekhilafan dalam Menyajikan Informasi Serta terdapat Link-Link yang belum Aktif". Jazzaakallah Khairan Katsiran, Assalamu'alaikum Wr, Wb. ^_^

Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates