Oleh: Dr. Adian Husaini
RUANG anggrek di Arena Islamic Book Fair (IBF) Jakarta, Sabtu (10/3/2012) siang, berubah menjadi semarak. Sekitar 400 hadirin, peserta Peluncuran buku Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor memadati ruangan. Selama hampir dua jam mereka mengikuti pemaparan tentang pendidikan Islam dan dialog pemikiran Islam dengan pakar internasional Prof. Dr. Wan Mohd Nor. Hadir juga sebagai pembicara dalam acara tersebut Direktur Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin yang menguraikan tujuan pendidikan menurut al-Quran.
Usai acara yang dipandu oleh Dr. Nirwan Syafrin (peneliti INSISTS), itu, Prof Wan dikerubuti peserta diskusi yang meminta tanda tangan dan foto bersama. Fenomena seperti itu menarik. Sebab, Wan Mohd Nor bukanlah Siti Nurhaliza yang sempat popular di Indonesia. Acara saat itu pun bukan sejenis pentas seni atau panggung sulap. Acara itu, utamanya, membedah buku terbaru Prof. Wan Mohd Nor yang berjudul Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer – selanjutnya kita sebut RIHLAH.
Sebagai pewawancara dan editor “RIHLAH”, saya bisa menyatakan, bahwa ini buku serius. “RIHLAH” mengajak umat Islam untuk memahami dan memperjuangkan gagasan Islamisasi Ilmu – yang kini terus melaju. Buku setebal 482 halaman ini diterbitkan atas kerjasama Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM) bekerjasama dengan Institute for the Study of IslamicThought and Civilizations (INSISTS).
Liku-liku seorang ilmuwan besar yang berhijrah pemikiran dari satu paham ke paham lain, tentu bukan perkara kecil. Mengapa? Sebab, biasanya tidak mudah seorang yang punya reputasi internasional dan bergelar professor menyebut dirinya murid dari ilmuwan lain. Tapi, ini tidak berlaku bagi Prof. Wan. Ia menerapkan konsep adab dalam dirinya dalam soal keilmuan. Meskipun berbagai karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa: Inggris, Turki, Indonesia, Rusia, Bosnia, dan lain-lain – ia tetap mengaku sebagai murid dari ilmuwan besar: Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Naquib al-Attas.
Kisah hijrah dari neo-modernisme ke Islamisasi ilmu itu hanya bisa dituturkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Sebab, hanya dialah satu-satunya ilmuwan Muslim di muka bumi ini yang sempat berguru secara intensif kepada Fazlur Rahman dan Naquib al-Attas — dua ilmuwan yang menjadi sumber dua gagasan yang kemudian menjadi dua arus besar dalam pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia: yaitu aliran neomodernisme dan Islamisasi ilmu.
Publik di Indonesia sudah terlanjur mengenal nama-nama ilmuwan popular seperti Prof. Nurcholish Madjid dan Prof. A. Syafii Maarif sebagai murid Fazlur Rahman. Di Indonesia, keduanya dikenal sebagai pendukung gagasan neomodernisme. Nurcholish Madjid bahkan sudah sejak awal 1970-an sudah mencetuskan gagasan sekularisasi yang kemudian berlanjut pada perjumpaannya dengan Fazlur Rahman, saat dia menimba ilmu di Chicago University.
Dalam disertasinya doktornya di UIN Jakarta — yang kemudian diterbitkan dengan judul, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003) — Dr. Abd. A’la, dosen IAIN Surabaya, mengaitkan erat pemikiran pembaruan Islam Nurcholish Madjid dengan gagasan “neo-modernisme” Islam Fazlur Rahman.
Bahkan, disertasi Dr. Greg Barton di Monash University, tentang pemikiran tokoh-tokoh neo-modernisme di Indonesia, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina: 1999). Yang dimaksud dengan gagasan “Islam Liberal” oleh Barton, tak lain adalah gagasan neo-modernisme yang diusung oleh sejumlah tokoh di Indonesia, termasuk Nurcholish Madjid. Menurut Greg Barton ada empat gagasan pokok gerakan neo-modernisme Islam, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Gagasan “kontekstualisasi ijtihad” memang merupakan salah satu ide penting yang diusung oleh Prof. Fazlur Rahman. Neo-modernisme Fazlur Rahman mengajukan perlunya perubahan metodologi penafsiran al-Quran yang biasa dikenal umat umat Islam sebagai Ilmu Tafsir. Fazlur Rahman dikenal sebagai pelopor penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Memahami Rahman: Kesaksian Seorang Murid”, Ahmad Syafii Maarif menulis:
“Neomodernisme yang ditawarkan Rahman, pada dasarnya adalah modernisme Islam plus metodologi yang mantap dan benar dalam memahami al-Quran dan Sunnah Nabi dalam perspektif sosio-historis. Bagi Rahman, tanpa suatu metodologi yang tepat dalam menangkap pesan-pesan Islam, orang akan sulit memahami secara jernih kaitan organis antara dasar-dasar teologis Islam dan persoalan serta nilai-nilai praktis dalam kehidupan. Al-Quran, dengan demikian, seperti telah ditegaskan di atas, harus dijadikan pedoman utama dan pertama dalam memahami Islam.” (Pengantar Ahmad Syafii Maarif untuk terjemahan buku Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2003).
Memang, dalam bukunya, Islam and Modernity, Fazlur Rahman berpendapat bahwa al-Quran adalah “literally God’s response through Muhammad’s mind to a historic situation.” Menurut Rahman, “the Quran is entirely the words of God and, in ordinary sense, also entirely the words of Muhammad.” (Dikutip dari Disertasi Dr. Ahmad Bazli bin Syafie di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur yang berjudul A Modernist Approach to the Qur’an: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman, 2005).
Kritik seorang murid
Metodologi Fazlur Rahman dalam memahami al-Quran yang menekankan aspek sosio-historis itulah yang memicu kontroversi luas di kalangan cendekiawan Muslim. Adalah menarik, bahwa salah satu pengkritik utama penggunaan metode hermeneutika tersebut adalah Prof. S.M.N. al-Attas dan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud – sahabat dan murid Fazlur Rahman. Dalam bukunya The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), Wan Mohd Nor menulis satu judul sub bab, “Tafsir is not Hermeneutics”.
Ia menulis dalam bukunya tersebut: “Al-Attas is perhaps the first contemporary Muslim scholar who has understood the unique nature of the Islamic science of tafsir and distinguishes it from the Western concept and practice of hermeneutics, whether on Biblical sources or other texts. In this respect al-Attas differs substantively from Fazlur Rahman and other modernist or post modernist Muslims like Arkoun, Hassan Hanafi and A. Karim Shoroush.”
Dalam kasus inilah tampak keunikan posisi Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Meskipun bergaul akrab dan sangat menghormati Fazlur Rahman, yang diakuinya sebagai guru dan ilmuwan besar di abad ke-20, Wan Mohd Nor tidak segan-segan memberikan kritik yang sangat tajam terhadap pemikiran Fazlur Rahman. Wan Mohd Nor menyatakan sependapat dengan pemikiran Naquib al-Attas, bahwa tafsir “benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.”
Lebih lanjut Wan Mohd Nor menulis: “Konsekuansi dari pendekatan hermeneutika ke atas sistem epistemologi Islam termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan saya fikir agak berbahaya. Yang paling utama saya kira ialah penolakannya terhadap penafsiran yang final dalam sesuatu masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak, malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan kelompok manusia.” (Lihat, artikel Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud di Majalah Islamia terbitan INSISTS edisi 1, tahun 2004 dan wawancara dengan beliau di majalah yang sama pada edisi 2, tahun 2004. Kajian komprehensif tentang hermeneutika dapat disimak pada Islamia edisi 1 dan 2 tersebut).
Kritik Wan Mohd Nor terhadap penggunaan hermeneutika terhadap al-Quran sangat mendasar. Sebab, dampak hermeneutika dalam penafsiran al-Quran berujung kepada relativisme Tafsir; tidak ada penafsiran final, dalam masalah agama, akhlak, dan masalah keilmuan lainnya. Dengan tegas, dikatakannya: “Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan kelompok manusia.”
Padahal, bagi penganut neomodernisme atau liberalisme, penggunaan hermeneutika untuk al-Quran dipandang sebagai satu keharusan. Bahkan, Prof. Hamim Ilyas, guru besar di UIN Yogya, menulis, bahwa orang yang menolak hermenetika untuk al-Quran bisa dicap sebagai salah satu ciri kaum fundamentalis. (Lihat CAP Adian Husaini ke-217).
*****
Saat berceramah di sejumlah kampus Indonesia, Prof. Wan Mohd Nor ditanya, mengapa sebagai murid Fazlur Rahman, pemikirannya berbeda dengan gurunya? Secara diplomatis, Prof. Wan menjawab: “Fazlur Rahman sendiri mengajarkan muridnya bersikap kritis.”
Nah, buku “RIHLAH” ini memaparkan kisah-kisah menarik – disertai dengan dokumen-dokumen otentik — bagaimana persahabatan yang sangat erat antara Wan Mohd Nor dengan Amien Rais dan Syafii Maarif, dan lain-lain. Tapi, pada saat yang sama, kita bisa memahami bagaimana perbedaan pemikiran antara Wan Mohd Nor dengan sejumlah sahabatnya itu. Beberapa dokumen dan foto kebersamaan dan persahabatan Wan Mohd Nor dengan Syafii Maarif, Amien Rais, dan sejumlah tokoh dari Indonesia bisa dinikmati dalam RIHLAH.
Saya menuliskan kata pengantar untuk RIHLAH ini dengan judul “Satria Digdaya dari Kelantan”. Judul ini kurang disetujui Prof. Wan Mohd Nor. Tapi, saya tetap bertahan. Alasannya, Wan Mohd Nor memang orang Kelantan yang telah tercebur ke dalam “kawah-panas” berbagai jenis pemikiran sekular-liberal, dan kemudian menjasi satria digdaya yang kritis terhadap paham-paham modernism dan neo-modernisme. Bahkan, buku RIHLAH ini, ditutupnya dengan sebuah bait puisi tentang Imam al-Ghazzali:
“Wahai cendekia modernis dan ulama keliru
Kenapa helang Muhammadi difitnah melulu?
Sekian lama kau menghuni sarangnya di takhta bangsa
Masih gagal membimbing bangsa mencapai cita.
Sebuah contoh menarik adalah persentuhannya dengan kaum Syiah. Di buku ini, Mohd Nor pun memaparkan kunjungannya sebanyak dua kali ke Iran dan pertemuannya dengan banyak pejabat serta cendekiawan Iran. Namun, dalam RIHLAH, diungkapkannya sebuah sikap yang tegas sebagai seorang Muslim Sunni, melalui sebuah puisi tentang Imam Khomeini, yang ditutup dengan bait berikut ini:
“Kita harus setia kepada Mustafa dan Tuhannya nan baqa
Apa untungnya terus bertengkar siapa berhak menjadi Raja?
Jika ‘Bu Bakar, Umar, Uthman, A’isyah diragui kalian
Bolehkah kami, yang lebih adna, lebih hina, dibuat kawan?
Dalam dunia pemikiran Islam, nama Prof Wan sudah dikenal di berbagai penjuru dunia. Ia telah menulis lebih dari 16 buah buku dan monograf yang diantaranya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Diantara karyanya yang terkenal ialah, “The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country” (New York and London, 1989); “The Beacon on the Crest of a Hill” (ISTAC, 1991); “Penjelasan Budaya Ilmu” (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990); edisi keduanya diterbitkan Pustaka Nasional Singapura, 2003; “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas : An Exposition of the Original Concept of Islamization” (ISTAC, 1998).
Dibandingkan dengan buku-bukunya yang lain, buku RIHLAH ILMIAH ini memiliki keunikan tersendiri, sebab buku ini bukan hanya menjelaskan isi dan makna suatu konsep, tetapi juga latar belakang kehidupan dan perilaku tokoh-tokoh yang mengusung suatu konsep tertentu, khusus Fazlur Rahman dan Naquib al-Attas.
Prof. Naquib al-Attas adalah ilmuwan besar yang memelopori gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Dalam RIHLAH, Prof. Wan menguraikan banyaknya kesalahpahaman terhadap gagasan Islamisasi Ilmu. Padahal, ia mencatat: “Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya ialah Islamisasi fikiran, jiwa dan akhlak manusia. Islamisasi ilmu pengetahuan harus melahirkan manusia Muslim beradab tinggi. Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak terpisah dengan proses penyucian jiwa (tazkiah al-nafs) dan pengindahan peribadi (tahzibul akhlak).”
Sementara Fazlur Rahman menolak gagasan Islamisasi Ilmu. Al-Attas banyak mengkritik pemikiran Fazlur Rahman. Tetapi, UNIKNYA, buku ini mencatat komentar Fazlur Rahman yang menyatakan, al-Attas adalah “ilmuwan genius”, dan Wan Mohd Nor diminta secara khusus oleh Fazlur Rahman untuk menemani al-Attas selama dia melakukan penelitian University of Chicago. Al-Attas juga mengundang Fazlur Rahman untuk mengajar di ISTAC. Tetapi, Fazlur Rahman “keburu” wafat, dipanggil Allah SWT. Akhirnya, seluruh koleksi perpustakaan pribadi Fazlur Rahman diserahkan ke ISTAC atas permintaan al-Attas kepada keluarga Rahman.
Walhasil, selamat membaca sendiri buku RIHLAH ILMIAH ini. Semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita di jalan-Nya yang lurus. Amin.*/ PP Gontor Kediri, 11 Maret 2012
Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Sumber : http://hidayatullah.com/read/21637/12/03/2012/%E2%80%9Cneomodernisme-itu-dulu,-kini,-islamisasi-ilmu%E2%80%9D-.html
Posted By : PKS Beringin DS